Jumat, April 11, 2014

Tak Ingatkah Kau, Bahkan Aku Rindu Masa Itu


                Ingatkah kau saat dulu kita menyendiri, menjauh dari teman-teman untuk hanya bermain berdua saja? Membicarakan mimpi kita?
Berbincang tentang keluarga di rumah kita? Aku rindu. Ingatkah kau saat tiba-tiba banyak teman mengerumuni kita, meminta kita bergabung dengan permainan mereka, mengacaukan obrolan dan mimpi kita? Menyebalkan memang tapi aku rindu.
Ingatkah kau saat kita berlari berkejaran, saling bersembunyi dan mencari, bercanda tawa bersama teman-teman kita, saling memukul entah dengan sebab apa? Menyakitkan memang tapi aku rindu.
Ingatkah kau saat kemudian ada saatnya kita mengacuhkan teman-teman kita, menghindari ajakan mereka dan berpindah tempat ke dekat pintu kelas kita, bermain sendiri, berdua saja? Aku rindu.
Ingatkah kau kala itu ibu mengejar kita, tak jemu berusaha menyuapi kita, bahkan kita tak memerdulikannya, entah suka atau tak suka? Menyedihkan memang tapi aku rindu.
Ingatkah kau saat bel mulai berdentang, memekakkan telinga kita, mengganggu kesenangan kita? Sulit memang tapi aku rindu.
Ingatkah kau saat suara ibu guru memanggil nama kita, memanggil nama teman kita, membuat kita terpaksa mendatanginya, berlomba-lomba memasuki kelas kita bersama? Sempit memang tapi aku rindu.
                Aku rindu masa-masa itu sayang. Mengapa saat ini kita tak bisa lagi bebas bermimpi, memimpikan masa depan kita. Bebas berbincang, membincangkan keluarga kita. Bebas bermain, bebas berlari, bebas bersembunyi, bebas berkejaran, bebas bercanda, tertawa, bebas mengacuhkan teman kita, bebas mengacuhkan dentangan bel sekolah kita, bahkan bebas disuapi ibu kita di mana saja. Bukankah saat ini kita juga masih seorang anak? Seorang anak bagi orang tua kita, seorang anak bagi guru-guru kita, seorang anak bagi mertua kita. Bukankah saat ini kita masih bisa bermimpi dan mewujudkan mimpi kita (seharusnya). Bukankah saat ini kita masih bisa berlari dan berkejaran atas prestasi dan nilai-nilai baik kita (seharusnya). Bukankah saat ini kita masih bisa saling bersembunyi dan mencari saling bercerita, bercanda tawa, saling mengingatkan (seharusnya).
Saat kita mulai beranjak remaja, kelas 5 SD misalnya. Ingatkah kau saat kita mulai berlomba berprestasi? Ingatkah kau saat kita mulai berlomba masuk ke dalam masjid? Ingatkah kau saat kita mulai berlomba menempati peringkat pertama?
Ingatkah kau saat kita mulai berlomba membenahi bacaan Qur’an kita? Ingatkah kau saat kita mulai berlomba berolahraga? Ingatkah kau saat kita mulai berlomba mendapat perhatian dari guru-guru kita, ustadzah kita? Ingatkah kau saat kita mulai berlomba mendapatkan perhatian, aku pada orang tuamu dan kamu pada orang tuaku?
Ingatkah kau saat kita berlomba memberi doa dan hadiah, pada ulang tahunmu, pada ulang tahunku, pada undangan teman kita? Ingatkah kau saat kita berlomba mengajak yang lain pada kebaikan, untuk mengaji, untuk yasinan, untuk dibaan, untuk saling mengunjungi rumah masing-masing, untuk berkunjung ke rumah guru kita, untuk saling bekerja kelompok, untuk tidak saling merepotkan?
Ingatkah kau saat kita saling bertengkar, berebut, membuat ricuh, membuat kehebohan, membuat yang lain iri kepada kita? Aku rindu itu semua.
Sekarang, bukankah kita sama-sama menganggap diri kita dewasa? Tapi mengapa semua itu berubah. Kebiasaan baik kita. Semua mimpi kita. Canda tawa kita. Ingatanmu pada keluargaku. Ingatanku pada keluargamu. Sikap kita yang saling mengingatkan. Sikap kita yang saling berlomba dalam kebaikan. Sikap kita yang saling berlomba mencari kebenaran. Tak ingatkah kau sayang, kita pernah saling berlomba menuju jalan yang akhirnya kita temui di sini bersama? Jalan Dakwah.

follow me @qhimahatthoyyib