Rabu, Juli 14, 2021

Miskin Boleh, Tapi Bodoh Jangan

 

                Dari Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Allah itu tidak mencabut ilmu pengetahuan dengan sekaligus pencabutan yang dicabutnya dari para manusia, tetapi Allah mencabut ruhnya -wafatnya- para alim ulama, sehingga apabila tidak ditinggalkannya lagi seorang alim pun -di dunia ini-, maka orang-orang banyak akan mengangkat para pemimpin -atau kepala-kepala pemerintahan- yang bodoh-bodoh. Mereka -para pemimpin dan kepala pemerintahan- itu ditanya, lalu memberikan keterangan fatwa tanpa menggunakan dasar ilmu pengetahuan. Maka akhirnya mereka itu semuanya sesat dan menyesatkan -orang lain-." (Muttafaq 'alaih)

                Hadits di atas memberi pengetahuan pada kita bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang istimewa dalam islam. Hingga hari ini, kesedihan akan kehilangan para tokoh dan cendekiawan ternyata masih berlanjut. Belum lagi, semakin banyak anak-anak yang tetiba menjadi yatim/piatu bahkan yatim piatu menjelang hari anak nasional. Tak dipungkiri, orang-orang pasti mengkhawatirkan nasib anak-anak tersebut. Terlebih berkaitan dengan pembiayaan hidup mereka. Namun, sebagai seorang muslim seharusnya kita yakin bahwa Allah telah menyiapkan rejeki-Nya untuk mereka.

                Bertambahnya jumlah anak yatim/piatu berarti bertambah pula ladang amal untuk orang-orang beriman. Banyak ayat di dalam Al Qur’an dan hadits Rosulullah yang menyatakan keutamaan berbuat baik dan memuliakan anak yatim dan fakir miskin. Di surat al Baqoroh ayat 177 misalnya, atau an Nisa ayat 36, atau al Insan ayat 8. Berikut beberapa hadits yang berkaitan:

  • ·         Dari Sahl bin Sa'ad r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Saya dan orang yang memelihara anak yatim itu dalam syurga seperti ini." Beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan merenggangkan antara keduanya itu." (Riwayat Bukhari) Kafilul yatim ialah orang yang menanggung segala perkara yang diperlukan oleh anak yatim -baik makan, minum, kediaman, pakaian dan pendidikannya, juga lain-lainnya pula.
  • ·         Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Pemelihara anak yatim, baik miliknya sendiri atau milik lainnya, saya -Nabi s.a.w.- dan ia adalah seperti kedua jari ini di dalam syurga." Yang merawikan hadits ini yakni Malik bin Anas mengisyaratkan dengan menggunakan jari telunjuk serta jari tengahnya. (Riwayat Muslim) Sabda Nabi s.a.w. Alyatim iahu au lighairihi, artinya ialah yang masih termasuk keluarganya atau yang termasuk orang lain. Yang masih keluarganya seperti anak yatim yang dipelihara oleh ibunya, neneknya, saudaranya atau lain-lainnya orang yang masih ada kekeluargaan dengannya. Wallahu a'lam.
  • ·         Demi yang mengutus aku dengan hak, Allah tidak akan menyiksa orang yang mengasihi dan menyayangi anak yatim, berbicara kepadanya dengan lembut dan mengasihi keyatiman serta kelemahannya, dan tidak bersikap angkuh dengan apa yang Allah anugerahkan kepadanya terhadap tetangganya. Demi yang mengutus aku dengan hak, Allah tidak akan menerima sedekah seorang yang mempunyai kerabat keluarga yang membutuhkan santunannya sedang sedekah itu diberikan kepada orang lain. Demi yang jiwaku dalam genggamanNya, ketahuilah, Allah tidak akan memandangnya (memperhatikannya) kelak pada hari kiamat. (HR. Ath-Thabrani)

Seperti yang teman-teman baca, di dalam ayat-ayat tersebut, Allah menyebutkan suatu kondisi yatim dan fakir miskin, yang artinya dapat kita telaah bahwa hal itu sunnatullah pasti terjadi. Bahwa anak yatim dan utamanya keberadaan kemiskinan (akan materi duniawi) adalah suatu kejadian yang tidak dapat kita hilangkan 100%. Oleh karena itu, dapat kita ambil pelajaran bahwa miskin (secara materi) bukanlah suatu kondisi yang memalukan. Namun, seperti disebutkan dalam hadits berikut, kemisikinan (hati dan jiwa) adalah sumber segala keburukan.

“Hampir saja kemiskinan (kemiskinan jiwa dan hati) berubah menjadi kekufuran. (HR. Ath-Thabrani)”

Jadi, sesuatu yang seharusnya kita hindari adalah terus berada dalam kebodohan.



                Merasa bodoh dan terus haus akan ilmu adalah keharusan. Tapi terus berada dalam kebodohan (dalam definisi apapun) adalah awal mula kehancuran.

  • ·         "Berilah pengampunan, perintahlah kebaikan dan janganlah engkau menghiraukan kepada tindakan orang-orang yang bodoh." (al-A'raf: 199)
  • ·         Janganlah kalian menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula menuntut ilmu untuk penampilan dalam majelis (pertemuan atau rapat) dan untuk menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu maka baginya neraka ... neraka. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
  • ·         Sedikit ilmu lebih baik dari banyak ibadah. Cukup bagi seorang pengetahuan fiqihnya jika dia mampu beribadah kepada Allah (dengan baik) dan cukup bodoh bila seorang merasa bangga (ujub) dengan pendapatnya sendiri. (HR. Ath-Thabrani)
  • ·         Sesungguhnya Allah membenci orang yang berhati kasar (kejam dan keras), sombong, angkuh, bersuara keras di pasar-pasar (tempat umum) pada malam hari serupa bangkai dan pada siang hari serupa keledai, mengetahui urusan-urusan dunia tetapi jahil (bodoh dan tidak mengetahui) urusan akhirat. (HR. Ahmad)
  • ·         Dari Ummul Mu'minin Ummu Salamah dan namanya sendiri adalah Hindun binti Abu Umayyah yaitu Hudzaifah al-Makhzumiyah radhiallahu 'anha bahwasanya Nabi s.a.w. itu apabila keluar dari rumahnya, bersabda -yang artinya: "Dengan menyebut nama Allah, saya bertawakkal kepada Allah. Ya Allah, sesungguhnya saya mohon perlindungan kepadaMu kalau-kalau saya sampai tersesat atau disesatkan, tergelincir -dari kebenaran- atau digelincirkan, menganiaya atau dianiaya, menjadi bodoh -tidak mengerti sesuatu- ataupun dianggap bodoh oleh orang lain atas diriku." Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi dan lain-lainnya dengan sanad-sanad yang shahih. Tirmidzi berkata bahwa ini adalah Hadis hasan shahih. Hadits di atas adalah menurut lafaznya Imam Abu Dawud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar