Tulisan
ini sebenarnya cocok masuk dalam tema Rumah Sakit Bercerita, tetapi karena
sedikit ada perbedaan isi maka kuputuskan untuk masuk dalam tema Selingan. Tenang
saja, masih banyak kisah yang dapat diambil hikmah dari pengalamanku selama 2
tahun berobat di rumah sakit. Namun, kali ini aku akan bercerita tentang drama
yang kualami pada beberapa pekan sebelum masuk waktu perkuliahan. Kisah ini
terjadi beberapa hari sebelum tulisan Rumah Sakit Bercerita #4 rilis. Pada tulisan
tersebut, aku sempat menyebutkan pada paragraf pertama bahwa aku gagal
mengambil cuti yang selama ini sudah kupikirkan dan kurencanakan matang-matang.
Berikut kisah dibalik mengapa aku tak jadi ambil cuti kuliah pada semester
akhir masterku ini.
Pagi
itu setelah aku membulatkan tekad untuk mengambil cuti setelah beberapa bulan
berkontemplasi dengan diri sendiri, maka aku segera berangkat ke kampus untuk
mengurus berkas-berkasnya. Setelah mengambil berkas dan lain sebagainya, hal
yang tersisa adalah meminta ijin pada dosen wali untuk mendapatkan tanda tangan
beliau. Maka besoknya aku kembali ke kampus untuk menemui beliau. Setelah
beberapa jam bercerita tentang sakitku dan sebagainya, sembari sesekali aku menangis,
kadang juga diselingi tawa, saran yang beliau berikan adalah ’tidak perlu ambil
cuti dan jalani saja semampunya’. Beliau juga menambahkan, “cerita saja pada
kawan-kawan jika ada kesulitan, pasti mereka akan bantu. Nanti ibu juga akan
bantu bilangkan”. “kawan-kawan sudah saya beritahu bu”, jawabku. “ya bagus
kalau gitu, bagaimana mereka baik-baik kan pasti mau membantu”, balas beliau.
Iya,
beliau tidak memberikan ijin padaku untuk mengambil cuti, itu kesimpulan yang
kuambil. Meski aku benar-benar memahami bahwa sebenarnya yang diberikan oleh
beliau adalah saran, tetapi saran tersebut berperan penting dalam pengambilan
keputusanku. Sehingga beberapa saat setelah pertemuan itu terjadi, aku
meragukan lagi keputusanku untuk cuti. Aku berkontemplasi lagi selama beberapa
hari, memohon petunjuk dan memohon kekuatan kepada sang Maha Kuasa. Hal apa
yang paling baik untukku menurut-Nya. Hingga pada suatu pagi, keajaiban itu terjadi.
Allah memberi sinyal itu padaku, dan aku rasa itulah jawaban atas pertanyaan
yang beberapa hari ini telah kuajukan pada-Nya. Begini kisahnya:
Pagi
itu, aku yang tidak biasa menonton televisi baik acara kajian, berita, maupun
show lainnya tiba-tiba ingin saja menyalakan televisi. Saat itu aku tinggal
sendirian di rumah, karena sepekan sebelumnya kedua orangtuaku telah berada di
Masjidil Haram untuk menunaikan ibadah haji. Sementara adek-adekku sedang
hijrah ke tempat lain untuk menempuh pendidikan. Maka dari itu, untuk mengusir
kesunyian di rumah terkadang kubiarkan televisi menyala sambil melakukan
kegiatan lainnya. Bukankah ini hal yang biasa dilakukan oleh ibu rumah tangga
dan pembantu rumah tangga saat ditinggal oleh suaminya bekerja dan anak-anaknya
sekolah.
Beberapa
menit setelah mengganti-ganti channel, aku terhenti pada suatu tayangan
kajian pagi. Kajian dengan tema wanita-wanita sholehah penghuni surga. Ustadz menjelaskan
ciri-ciri dan hal-hal yang harus dilakukan oleh wanita untuk mendapatkan surga.
Sampai tiba sesi pertanyaan, ustadz menjawab pertanyaan tersebut dengan hadits
yang mengisahkan seorang wanita berpenyakit ayan. Begini arti dari hadits
tersebut:
dari Atha’ bin Abi Rabah, ia berkata, Ibnu
Abbas berkata padaku:
“Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?”
Aku menjawab, “Ya”
Ia berkata, “Wanita hitam itulah yang
datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Aku menderita
penyakit ayan (epilepsi) dan auratku tersingkap (saat penyakitku kambuh).
Doakanlah untukku agar Allah Menyembuhkannya.’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Jika engkau mau, engkau
bersabar dan bagimu surga, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu agar Allah
Menyembuhkanmu.’
Wanita itu menjawab, ‘Aku pilih bersabar.’ Lalu ia melanjutkan perkataannya, ‘Tatkala penyakit ayan
menimpaku, auratku terbuka, doakanlah agar auratku tidak tersingkap.’
Maka Nabi pun
mendoakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tayangan itu, terutama hadits yang disebutkan oleh sang
ustadz seketika membuatku tersadar dari lamunan dan terbangun dari mimpi. Bayang-bayang
yang selama ini memenuhi pikiranku akhirnya sirna. Aku telah lupa bahwa ada
sejarah selain kisah Nabi Ayyub, kisah seorang yang bersabar menghadapi
penyakitnya. Kisah yang lebih dekat, kisah yang lebih realistis untuk
disandingkan dengan apa yang kualami saat ini. Jadi, bersabarlah dan bagimu
surga.
Kawan, Allah punya jawaban dan solusi atas segala
pertanyaan dan permasalahan. Apa yang sedang kau alami saat ini, adalah
kejadian berulang yang telah tertulis dalam sejarah. Maka dari itu, selalu
dekatkan diri kepada-Nya agar kita selalu diberi petunjuk oleh-Nya. Wallahu a’lam.
Mohon maaf atas tulisan yang terlalu panjang.
follow me @qhimahatthoyyib