Rabu, Agustus 29, 2018

SELINGAN 3 : Kasih Sayang Itu Bernama Surga



                Tulisan ini sebenarnya cocok masuk dalam tema Rumah Sakit Bercerita, tetapi karena sedikit ada perbedaan isi maka kuputuskan untuk masuk dalam tema Selingan. Tenang saja, masih banyak kisah yang dapat diambil hikmah dari pengalamanku selama 2 tahun berobat di rumah sakit. Namun, kali ini aku akan bercerita tentang drama yang kualami pada beberapa pekan sebelum masuk waktu perkuliahan. Kisah ini terjadi beberapa hari sebelum tulisan Rumah Sakit Bercerita #4 rilis. Pada tulisan tersebut, aku sempat menyebutkan pada paragraf pertama bahwa aku gagal mengambil cuti yang selama ini sudah kupikirkan dan kurencanakan matang-matang. Berikut kisah dibalik mengapa aku tak jadi ambil cuti kuliah pada semester akhir masterku ini.
                Pagi itu setelah aku membulatkan tekad untuk mengambil cuti setelah beberapa bulan berkontemplasi dengan diri sendiri, maka aku segera berangkat ke kampus untuk mengurus berkas-berkasnya. Setelah mengambil berkas dan lain sebagainya, hal yang tersisa adalah meminta ijin pada dosen wali untuk mendapatkan tanda tangan beliau. Maka besoknya aku kembali ke kampus untuk menemui beliau. Setelah beberapa jam bercerita tentang sakitku dan sebagainya, sembari sesekali aku menangis, kadang juga diselingi tawa, saran yang beliau berikan adalah ’tidak perlu ambil cuti dan jalani saja semampunya’. Beliau juga menambahkan, “cerita saja pada kawan-kawan jika ada kesulitan, pasti mereka akan bantu. Nanti ibu juga akan bantu bilangkan”. “kawan-kawan sudah saya beritahu bu”, jawabku. “ya bagus kalau gitu, bagaimana mereka baik-baik kan pasti mau membantu”, balas beliau.
                Iya, beliau tidak memberikan ijin padaku untuk mengambil cuti, itu kesimpulan yang kuambil. Meski aku benar-benar memahami bahwa sebenarnya yang diberikan oleh beliau adalah saran, tetapi saran tersebut berperan penting dalam pengambilan keputusanku. Sehingga beberapa saat setelah pertemuan itu terjadi, aku meragukan lagi keputusanku untuk cuti. Aku berkontemplasi lagi selama beberapa hari, memohon petunjuk dan memohon kekuatan kepada sang Maha Kuasa. Hal apa yang paling baik untukku menurut-Nya. Hingga pada suatu pagi, keajaiban itu terjadi. Allah memberi sinyal itu padaku, dan aku rasa itulah jawaban atas pertanyaan yang beberapa hari ini telah kuajukan pada-Nya. Begini kisahnya:
                Pagi itu, aku yang tidak biasa menonton televisi baik acara kajian, berita, maupun show lainnya tiba-tiba ingin saja menyalakan televisi. Saat itu aku tinggal sendirian di rumah, karena sepekan sebelumnya kedua orangtuaku telah berada di Masjidil Haram untuk menunaikan ibadah haji. Sementara adek-adekku sedang hijrah ke tempat lain untuk menempuh pendidikan. Maka dari itu, untuk mengusir kesunyian di rumah terkadang kubiarkan televisi menyala sambil melakukan kegiatan lainnya. Bukankah ini hal yang biasa dilakukan oleh ibu rumah tangga dan pembantu rumah tangga saat ditinggal oleh suaminya bekerja dan anak-anaknya sekolah.
                Beberapa menit setelah mengganti-ganti channel, aku terhenti pada suatu tayangan kajian pagi. Kajian dengan tema wanita-wanita sholehah penghuni surga. Ustadz menjelaskan ciri-ciri dan hal-hal yang harus dilakukan oleh wanita untuk mendapatkan surga. Sampai tiba sesi pertanyaan, ustadz menjawab pertanyaan tersebut dengan hadits yang mengisahkan seorang wanita berpenyakit ayan. Begini arti dari hadits tersebut:

dari Atha bin Abi Rabah, ia berkata, Ibnu Abbas berkata padaku:
“Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?”
Aku menjawab, “Ya”
Ia berkata, “Wanita hitam itulah yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Aku menderita penyakit ayan (epilepsi) dan auratku tersingkap (saat penyakitku kambuh). Doakanlah untukku agar Allah Menyembuhkannya.’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Jika engkau mau, engkau bersabar dan bagimu surga, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu agar Allah Menyembuhkanmu.’
Wanita itu menjawab, ‘Aku pilih bersabar.’ Lalu ia melanjutkan perkataannya, ‘Tatkala penyakit ayan menimpaku, auratku terbuka, doakanlah agar auratku tidak tersingkap.’
Maka Nabi pun mendoakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tayangan itu, terutama hadits yang disebutkan oleh sang ustadz seketika membuatku tersadar dari lamunan dan terbangun dari mimpi. Bayang-bayang yang selama ini memenuhi pikiranku akhirnya sirna. Aku telah lupa bahwa ada sejarah selain kisah Nabi Ayyub, kisah seorang yang bersabar menghadapi penyakitnya. Kisah yang lebih dekat, kisah yang lebih realistis untuk disandingkan dengan apa yang kualami saat ini. Jadi, bersabarlah dan bagimu surga.
Kawan, Allah punya jawaban dan solusi atas segala pertanyaan dan permasalahan. Apa yang sedang kau alami saat ini, adalah kejadian berulang yang telah tertulis dalam sejarah. Maka dari itu, selalu dekatkan diri kepada-Nya agar kita selalu diberi petunjuk oleh-Nya. Wallahu a’lam. Mohon maaf atas tulisan yang terlalu panjang.

follow me @qhimahatthoyyib

Senin, Agustus 27, 2018

SELINGAN 2 : Apresiasi untuk Para Atlet



                Sebenarnya aku masih ragu tentang judul apa yang cocok untuk tulisan kali ini, tapi biarlah. Meriahnya agenda ASIAN GAMES di Indonesia membuatku tak rela jika harus tertinggal pertandingan khususnya badminton. Seperti yang telah kuceritakan di SELINGAN1 sebelumnya, karena aku sempat mendalami badminton maka sedikit banyak masih terdapat jiwa-jiwa atlet dalam diriku. Menonton siaran ulang atau hanya mendengar liputan terkait hasilnya saja seringkali membuatku tetap tidak puas. Jadi, aku tahu rasanya bagaimana para pecinta sepak bola rela bangun malam-malam demi menyaksikan pertandingan klub favoritnya.
Setelah mengamati beberapa kali pertandingan badminton, ada beberapa hal yang mengganggu pikiranku. Salah satunya adalah raket yang digunakan oleh para atlet. Salah satu bukti bahwa raket sangat menarik perhatianku adalah ketika para atlet menggunakan raket bermerk YONEX, orangtuaku akhirnya menghadiahkan raket merk tersebut padaku saat aku mulai mendalami badminton sekitar 18 tahun yang lalu. YONEX kami anggap sebagai raket paling bagus dan berkualitas tinggi. Namun, akhir-akhir ini tampaknya para atlet sudah tidak menggunakan raket bermerk lagi. Entah apapun sebabnya, hal inilah yang membuatku penasaran.
                Kejadian tersebut mengingatkanku pada dorama jepang berjudul Rikuoh yang dirilis pada tahun 2017 lalu. Dorama ini bercerita tentang pabrik tabi yang menjelma dengan produk sepatu untuk para atlet lari. Dorama tersebut juga menceritakan lika-liku perebutan sponsor sepatu untuk para eatlet lari tersebut. Mungkinkah hal demikian juga terjadi di dunia nyata lika-liku para atlet? Bagaimanapun sepatu adalah alat perang bagi para atlet lari, begitupula raket adalah senjata bagi para atlet bulutangkis. Maka dari itu, sponsor bertugas untuk memberikan semangat pada mereka agar dapat tetap memberikan yang terbaik.
                Rasa penasaran tersebut membuatku harus mencari kabar tentang YONEX dan akhirnya aku mendarat pada kisah sejarah YONEX, para atlet yang diberi sponsor, dan keberadaan pabrik tersebut saat ini. Aku hanya membaca dan tidak berani menyimpulkan apapun, meski Informasi tersebut telah sedikit menghapus rasa penasaranku. Namun, apapun yang terjadi semoga saja para atlet tetap semangat untuk memberikan yang terbaik terutama bagi bangsa dan negara. Hanya saja, apresiasi terutama dari pemerintah juga harus setimpal dengan pengorbanan yang telah dilakukan oleh para atlet tersebut.
                Bukan hanya atlet, tentunya pada pengorbanan apapun, manusia membutuhkan apresiasi. Bukan haus akan penghargaan, tetapi apresiasi, hadiah atau apapun namanya akan membuat seseorang berusaha memberikan hasil yang terbaik, berlomba menjadi yang paling unggul, baik dalam rangka mengalahkan diri sendiri di masa lalu maupun melawan orang lain. Oleh karena itu, hargailah apapun yang dilakukan oleh orang lain, serendah apapun pekerjaan mereka menurutmu. Karena belum tentu jika kamu dalam posisi itu, kamu dapat melakukannya lebih baik daripada mereka. Dalam rangka menghargai orang lain, aku jadi teringat hal yang telah diajarkan oleh para guru dan senior di SMA dulu yaitu ucapkanlah 3 kata saat meminta bantuan orang lain MAAF, TOLONG, TERIMAKASIH. Demikian kisah hikmah hari ini, semoga bermanfaat untuk kita semua. Wassalamu’alaikum.

follow me @qhimahatthoyyib

Sabtu, Agustus 25, 2018

SELINGAN 1 : Gelora Gempita 18th ASIAN GAMES 2018



Melihat euforia masyarakat dan atlet Indonesia terhadap ASIAN GAMES khususnya yang berada di Jakarta, Palembang, Bekasi, Bogor, Subang serta tempat-tempat lain yang menjadi tempat terselenggaranya pesta olahraga se-Asia ini membuatku flash back, mengingat memori masa-masa lampau saat aku masih berkecimpung di dunia bulutangkis. Memang tidak bisa disebut sebagai atlet, tetapi setidaknya aku pernah benar-benar menekuni cabang olahraga tersebut. Seingatku di beberapa tulisan sebelumnya pernah kusebutkan. Tetapi akan kukisahkan ulang jika tulisan itu sulit ditemukan.
Sangat teringat di dalam memoriku masa-masa di mana arena lapangan badminton menjadi teman baikku setiap satu pekan sekali pada hari jumat. Kurang lebih tiga tahun aku berada di sana saat usiaku masih sekitar 8 tahun. Aku tak yakin apakah aku merupakan anggota klub karena aku tidak hafal atlet lainnya kecuali seorang senior lelaki yang kerap kali memakai kaos bertuliskan CAMEL di punggungnya, itupun juga aku tak tahu namanya. Karena bagiku, keberadaan seorang pelatih sudah cukup untuk membakar semangatku.
Berlari mengelilingi lapangan adalah rutinitas kami sebelum berlatih. Meski rentang usia kami cukup jauh, kurasa sekitar 10 tahun, banyaknya putaran yang harus kulakukan saat itu sama dengan senior lainnya. Melelahkan, bahkan aku seringkali menangis setelahnya. Baik setelah berlari, maupun setelah berlatih. Karena tak banyak anak seusiaku pada jam-jam tersebut, aku seringkali bermain privat dengan pelatih, terkadang sesekali juga bermain melawan senior. Maka dari itu aku tak yakin apakah aku masuk ke dalam klub, atau les privat badminton. Tetapi aku bersyukur pernah serius bermain badminton dan pernah punya pelatih yang tidak jemu untuk membuat kemampuan bermainku menjadi semakin lebih baik.
Tujuh tahun kemudian, aku sempat mengikuti pertandingan antar sekolah SMA se-Tangerang. Menjadi salah satu wakil dari sekolah merupakan kebanggaan tersendiri. Sayangnya, aku tak sebaik pemain lainnya yang berasal dari klub ataupun telah berlatih rutin. Karena saat itu, aku dan kawanku yang berasal dari sekolah kami tidak benar-benar menekuni olahraga ini. Tak ada pelatih, tak ada latihan rutin, serta tak juga mengikuti klub. Wajar saja kami tak mampu untuk lanjut ke tahap selanjutnya. Itulah akhir dari karir permainanku dalam badminton. Meskipun sempat pada tahun pertama kuliah aku masuk ke dalam UKM badminton tetapi mataku sudah tak mampu lagi mengamati pergerakan shuttlecock yang terkena lighting GOR. Maka dari itu, saat ini badminton hanya kujadikan sebagai hobi, yang kulakukan jika ada waktu senggang.
Setelah mengalami sendiri, ditambah lagi dengan mengamati pertandingan dari beberapa jenis cabang olahraga, membuatku sadar bahwa ada dua macam pertandingan yaitu pertandingan melawan diri sendiri dan kedua pertandingan melawan orang lain. Olahraga yang termasuk dalam kategori melawan diri sendiri adalah cabang atletik seperti lari, lompat, atau cabang lain seperti balap sepeda, paralayang, panjat tebing, renang, panahan, bowling, dayung, angkat besi dan permainan lain yang sudah bisa dilakukan sendiri. Sedangkan olahraga yang termasuk kategori melawan orang lain adalah badminton, voli, tennis, tennis meja, sepak takraw, dan permainan lain yang hanya bisa dilakukan jika ada dua pemain/tim.
Kedua macam pertandingan tersebut selain terjadi dalam olahraga, pada umumnya juga terjadi pada kehidupan kita sehari-hari. Adakalanya kita harus melawan diri sendiri dengan kondisi lingkungan yang ada, kadang juga kita harus menghadapi kondisi untuk melawan orang lain. Tetapi seperti yang kusebutkan pada cerita awal bahwa keberadaan pelatih sangatlah penting. Begitu juga dalam menjalani kehidupan, keberadaan pelatih alias orang-orang yang dapat memberikan nasihat, menyalurkan semangat, dan menawarkan solusi sangat kita butuhkan. Terlebih dari orang-orang yang telah melalui kondisi yang sama dan mempunyai pengalaman yang sama.
Demikian tulisan selingan kali ini, sampai jumpa di tulisan-tulisan selanjutnya. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Akhir kata, saya tutup dengan kutipan lagu ASIAN GAMES 2018 yaitu “and Give Your Best, Let God Do The Rest”. Fighting Indonesia!!


follow me @qhimahatthoyyib

Sabtu, Agustus 11, 2018

RUMAH SAKIT BERCERITA #4



                Sahabat, bagaimana hari-harimu? Tetapkah tenang dan bahagia? Jika tidak, maka periksa kembali hubunganmu dengan Yang Maha Kuasa. Karena Dia-lah sumber ketenangan dan kebahagiaan jiwa dan raga. Paragraf pembuka ini adalah nasehat utama yang kuberikan pada diriku akhir-akhir ini. Terlebih, saat ini aku merasa malas dan ingin menyerah dari kerjaan tugas akhir masterku pada semester ini. Rasanya ingin ambil cuti saja selama satu semester, padahal sudah semester akhir. Tetapi gagal, banyak orang yang mendukung keputusanku tapi lebih banyak lagi orang-orang, termasuk guru dan kawan-kawan baik yang memintaku untuk bangkit serta tetap semangat.
Kisah tersebut berawal dari tiga bulan terakhir, semenjak harus dua sampai tiga kali tiap pekan aku harus kontrol ke rumah sakit (RS). Aku merasa tidak memahami apa yang sebenarnya ingin Allah sampaikan padaku melalui ujian sakit ini. Berkali-kali pun aku mencoba mengerti hikmah apa yang ingin Allah berikan, tapi gagal. Setiap hari, bahkan mungkin setiap jam aku menangis, tidak hanya secara fisik tetapi juga rohani. Kurasa kesedihan telah menggelayutiku terlalu dalam dan diriku telah berlarut-larut terseret ke dalamnya. Mungkin itu juga sebabnya aku memilih membeli salah satu buku tullisan Seno Gumira berjudul ‘Negeri Senja’ bulan lalu.
Dalam masa-masa yang menurutku sulit seperti ini, yang kurasa inilah ujian terberat dari Allah yang diberikan padaku secara pribadi (bukan keluarga) setelah seperempat abad hidup di bumi, Aku sadar bahwa Allah tidak pernah membiarkan hamba-Nya hidup sengsara selamanya. Meskipun makhluk Allah yang bernama manusia tersebut tidak benar-benar mendekat untuk meminta penyelesaian ujian pada-Nya. Seperti janji-Nya dalam al-Qur’an surah al-Insyiroh yang artinya “...sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan...”. Bukankah Allah juga mengatakan bahwa “...Apakah kamu mengira bahwa kamu tidak akan diuji setelah beriman?...”  Sungguh bahwa Allah tidak akan mengingkari janji-Nya. Banyak bukti yang telah terjadi terutama padaku akhir-akhir ini. Dalam masa sulit menjalani ujian ini, Allah juga sekaligus mengirimkan kabar gembira padaku. Mungkin inilah cara Allah menghiburku.
Kepanjangan opening sampai lupa inti yang ingin kusampaikan pada tulisan ini. Tapi tidak masalah, karena inti yang singkat ini berawal dari perenungan opening yang panjang. Beberapa hari lalu, saat aku harus menjalani foto CT Scan sinus aku ditemani salah satu orang penting dalam hidupku. Seseorang yang akhir-akhir ini Allah kirimkan untuk menghiburku. Padahal sebelumnya aku tidak pernah ditemani seseorang ketika kontrol ke RS, kecuali saat hari pertama periksa itupun sudah setahun yang lalu. Aku menyebut orang ini The Last Standing Partner Akhwat FRU11TS. Artinya, bahwa orang ini adalah partner akhwat (terdekatku) angkatan 2011 terakhir di Surabaya karena setelah ini, sekitar 2 pekan ke depan ia telah menjadi milik orang dan pergi meninggalkan Surabaya untuk berbakti pada suaminya. Iya, akhirnya kawan-kawan akhwat seangkatanku satu per satu pergi dari Surabaya untuk menunaikan amanah di tempat dan ladang dakwah lainnya. Sedangkan aku, aku masih di sini karena selain aku harus menyelesaikan masterku di ITS, ini pula tempat di mana kedua orangtuaku tinggal.
Akhwat tersebut sangat istimewa, kusebut saja namanya yaitu Wahyu Eka Putri Kinanti, akrab disapa puput tapi tak jarang orang memanggilnya WEka. Katanya sih, ia sangat berat meniggalkan surabaya. Aku sih senang-senang saja jika ia tak jadi pergi karena bagiku ia adalah salah satu teman seangkatan yang istimewa. Meskipun kami tak satu jurusan, kami juga tak pernah satu amanah, kenal juga beberapa tahun terakhir saja. Tapi singkatnya waktu, tak mempengaruhi dalamnya persahabatan. Padahal ia akan pergi, tetapi mengapa ini adalah kabar gembira bagiku? Karena pada hari-hari terakhirnya di Surabaya ini, ia semakin menjadi perhatian padaku ehehe padahal ia pasti sibuk dengan urusannya. Selain itu, aku senang akhirnya ia akan menikah. Ini kabar yang sangat menggembirakan bagi siapa saja yang mendengarnya. Barokallah yaa puput sayang~ mudah-mudahan acaranya lancar dan menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rohmah baik di dunia maupun akhirat nanti. Amiin~
Pergi dari Surabaya untuk mencari ladang dakwah lainnya adalah hal tepat yang Allah hadiahkan padanya. Karena ia telah menyelesaikan semua amanahnya di Surabaya dengan baik dan profesional. Mudah-mudahan dengan semangat-semangat yang diberikannya padaku, aku juga dapat menyelesaikan amanahku dengan baik, terutama amanah untuk menyelesaikan program master yang sedang kutempuh saat ini agar aku juga dapat segera beralih pada amanah selanjutnya yang Allah siapkan untukku. Bukankah setelah menuntaskan suatu amanah, hendaknya kita segera menyambut amanah selanjutnya? Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

follow me @qhimahatthoyyib

Kamis, Agustus 09, 2018

RUMAH SAKIT BERCERITA #3



                Sahabat, bagaimana kabarnya siang ini? Apakah ada sahabat pembaca yang sdang berada di Lombok? Atau memiliki saudara dekat dan teman di Lombok? Dengan segenap hati, saya turut berduka cita dan turut berdoa untuk saudara-saudara sekalian di Lombok. Semoga Allah memberikan kesabaran dan kelapangan hati untuk menerima ujian dari alam. Perbanyak ibadah, berdzikir dan berdo’a karena hanya Allah lah yang dapat menolong kita dalam berbagai kondisi.
                Baik, insyaAllah pada tulisan kali ini saya akan berkisah tentang hal yang saya janjikan pada tulisan sebelumnya. Yaitu tentang keseringan saya menghindari percakapan dengan orang yang belum kenal. Sahabat, berkomunikasi, berbicara dan bertukar pikiran dengan orang lain adalah suatu hal yang wajar kita lakukan sebagai manusia bertitel makhluk sosial. Artinya kita membutuhkan orang lain dalam kehidupan kita. Berbagai macam jenis orang selain diri kita yaitu bisa dikategorikan sebagai keluarga, teman, kolega, rekan kerja, guru dan orang asing (yaitu sebutan untuk orang yang tidak kita kenal). Hal ini menyebabkan tingkat kebutuhan dan cara bersikap kita pada tiap kategori tersebut menjadi berbeda. Terkadang bergantung juga kepada ‘kepentingan’. Termasuk bagi orang-orang seperti saya yang memiliki sifat melakonlis-plegmatis akan sangat berbeda sikapnya antara keluarga, teman dan kolega serta orang asing.
                Pada umumnya seseorang akan bersikap hangat dan baik pada orang-orang yang dikenalnya, dan bersikap waspada, bahkan jutek pada orang yang tidak dikenalnya. Tetapi beda halnya jika kita bekerja sebagai public figure, atau mengabdi untuk masyarakat dan pelayan fasilitas umum seperti dokter, guru, customer service, pramugari, dan lain sebagainya. Orang-orang yang demikian harus mengacuhkan kondisi hatinya karena dituntut bersikap ramah pada orang lain. Sebenarnya sikap yang demikian itu sangat patut kita contoh. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa senyum dan keceriaan akan memberikan energi positif pada diri kita serta akan berpengaruh pada orang lain di sekitar kita. Tetapi tidak banyak orang yang dapat bersikap demikian. Hanya saja, terkadang ada beberapa orang yang sebenarnya berniat baik dengan mencoba bersikap ramah pada orang asing namun berakibat buruk pada lawan bicaranya tersebut.
                Siang itu, seperti biasa aku kembali ke unit farmasi untuk menunggu panggilan obat setelah melaksanakan sholat dhuhr berjamaah di Masjid RS (Rumah Sakit). Seperti biasa pula, perutku sudah keroncongan karena memang setelahh berpuasa Romadhon ini aku kembali minum obat yang diharuskan untuk makan terlebih dahulu. Maka pada siang hari, perutku pun sudah terbiasa mendapatkan asupan. Sehingga siang itu, aku mencari tempat duduk untuk makan sebungkus nasi—yang sebelumnya telah kubeli di kantin—sembari menunggu panggilan. Setelah selesai makan, aku mengeluarkan botol minum dari tas. Tiba-tiba seorang ibu mungkin sekitar usia pertengahan 50 tahun berkata padakau dalam bahasa jawa, “gak kurang gede a mba botole?”. Sejenak aku kaget mendengar ucapan ibu itu, karena tak ada obrolan yang kami lakukan sama sekali sebelumnya. Ibu itu sudah berada di kursi itu sebelum aku datang. Kemudian aku duduk di kursi kosong sebelahnya lalu menikmati makananku. Kutanggapi pertanyaan itu dengan jawaban, “sak menten niki takseh kurang bu, ini saja sudah mau habis.” Kukira dengan jawaban begitu beliau akan diam. Ternyata dugaanku salah, beliau terus melanjutkan pertanyaannya kemudian hanya kujawab singkat karena aku merasa tak nyaman dengan obrolan itu. Beberapa menit kemudian hening, karena aku menghilangkan kebosanan dengan buku bacaan yang sudah kusiapkan. Pada menit selanjutnya, ibu itu masih mencoba mengajakku berbicara dengan tema lain. Beliau sedikit lebih ramah dari sebelumnya, mungkin merasa bersalah atau kaget dan tidak menyangka terhadap jawaban dan reaksiku.
                Bagi sahabat yang tidak paham bahasa jawa, jadi begini intinya. Saat kukeluarkan botol minumku yang berukuran 1 L, ibu tersebut bertanya dengan nada menyindir, menyinyir yang mungkin maksudnya adalah bercanda yaitu botolku itu apa tidak kurang besar untuk dibawa. Padahal menurutku pada jaman sekarang ini membawa botol minum ukuran besar merupakan hal yang sudah biasa dilakukan masyarakat, terlebih di rumah sakit atau bagi seseorang yang harus keluar rumah seharian untuk pergi ke berbagai tempat. Meski sempat kaget dengan pertanyaan tiba-tiba tersebut, aku mencoba mengendalikan emosiku dengan memilih jawaban ringan yang dapat mematikan pertanyaan tersebut. Aku menyatakan bahwa air sejumlah itu masih kurang untukku, sambil kutunjukkan isi botol yang hanya tersisa seperenam tinggi botol.
                Sahabat, itulah mengapa aku seringkali diam saat duduk menunggu antrian di tempat fasilitas umum. Bukan karena tidak suka bicara atau bertukar sapa dan pikiran dengan orang lain tetapi untuk menjaga hati dan perasaan dari orang-orang yang belum kita kenal. Terkadang atau bahkan seringkali ucapan yang keluar dari mulut kita dapat melukai hati orang tersebut. Atau sebaliknya, kita yang sakit hati dibuatnya. Terlebih di tempat seperti itu, kita hanya bertemu dengan mereka mungkin sekali seumur hidup. Jika demikian, bagaimana kita harus meminta maaf setelah tanpa sadar kita menyakiti hatinya? Bukankah kesalahan pada sesama manusia hanya bisa ditebus dengan meminta maaf pada yang bersangkutan? Lain halnya jika kita bersalah kepada Allah, maka kita dapat perbanyak istighfar dan bertaubat kepada-Nya.
                Demikian sahabat yang bisa saya ceritakan siang ini. Semoga dapat memberikan manfaat bagi sahabat pembaca semua dimanapun berada. Serta, kita harus selalu berpikir matang terlebih dahulu sebelum bertindak, baik secara lisan maupun gerakan. Mudah-mudahan kita dapat terhindar dari kesalahan lidah yang tidak bertulang. Amiin~

follow me @qhimahatthoyyib

Minggu, Agustus 05, 2018

RUMAH SAKIT BERCERITA #2



                Assalamu’alaikum sahabat, rencananya selama bulan Agustus ini dan (mungkin) September, saya akan menuliskan kisah-kisah berdasarkan pengalaman di Rumah Sakit. Mudah-madahan banyak hal yang bisa saya bagikan dan kita ambil hikmahnya bersama-sama.
                Sejak tahun 2016 bulan Desember, saya mengeluhkan penyakit ini hingga akhirnya harus dirujuk dari puskesmas ke Rumah Sakit (RS). Rumah saya berada di Surabaya Timur, merupakan letak yang strategis karena banyak Rumah Sakit pemerintah dekat dari sini. Saat itu, aku dirujuk ke salah satu Rumah Sakit Islam yang biasa kudatangi saat periksa mata. Namun, beberapa bulan kemudian dokter RSI tersebut merekomendasikanku untuk pindah rumah sakit. Rumah Sakit Angkatan yang pelayanan terkait penyakit THT dan Jala Puspa disebut nomor satu di Jawa Timur. Akhirnya, bulan Juni 2017 aku mulai memeriksakan diri di RS tersebut.
                Suasana di RS Angkatan memang dapat dikatakan berbeda dengan RS lainnya. Semua tenaga kerja kesehatannya cekatan dan tanggap. Mungkin karena sudah terlatih demikian atau sudah terbiasa dalam kondisi perang, bencana, atau dalam tekanan. Jangan percaya, karena itu hanya perkiraanku saja. Seragam Angkatan, sejak dulu kuanggap istimewa karena kakekku juga seorang tentara. Jadi, menurut orang tuaku RS ini adalah RS bersejarah bagi keluarga. Saat menjagaku di ruang inap H2 menjelang operasi bulan Oktober 2017 dan Februari 2018 lalu, kata ummiku (read: ibuku) lorong-lorong, taman, dan ruangan seperti mengisahkan kejadian pada masa kecilnya dulu, nostalgia begitu.
                Siang itu, entah sudah keberapa kalinya aku berada di ruang yang sama. Mengantri seperti biasa, menunggu panggilan obat dan mencoba melepas kebosanan dengan hal-hal yang bisa kulakukan sembari duduk. Dua kursi kanan dan kiriku kosong, hal yang biasa tejadi padaku. Karena saat mengantri seperti itu, aku lebih memilih jauh dari keramaian, kadang duduk di pojokan, atau duduk di kursi paling pinggir. Bukan apa-apa, karena terkadang berbincang dengan orang yang sama-sama sakit bisa jadi tidak menguntungkan. Jika kalian tidak percaya, nantikan kisahku selanjutnya. Karena kali ini aku akan mengisahkan hal berbeda.
                Tiga orang bapak-bapak di samping kiriku dengan jarak satu kursi kosong tersebut tengah berbincang sambil menunggu antrian dan mengusir kebosanan. Sama sepertiku tetapi bedanya aku sendiri menikmati bacaan di layar hape (handphone). Mereka mengenakan seragam tentara, karena seorang Anggota tetap harus berseragam pada jam kerja apapun aktivitasnya. Mendengar perbincangan mereka, tidak kusangka ternyata bapak-bapak tentara juga bisa bercanda, bahkan bergosip ria :) hihi. Salah satu topik perbincangan yang kuperhatikan dengan benar adalah bagaimana gaya hidup seorang tentara, termasuk bersikap pada keluarganya, koleganya, serta kegiatan mereka saat merantau jauh di wilayah penempatan.
Topik hangat yang selalu tetap hangat di kalangan bapak-bapak adalah poligami. Tetapi di kalangan tentara bentuk poligaminya berbeda. Dulu, aku hanya sering mendengar dan seringkali tidak percaya jika seorang tentara dikatakan senang bermain wanita. Tetapi, yang kudengar siang itu, adalah berbagai data dan fakta yang disebutkan seorang tentara berdasarkan pengalaman kawan-kawannya. Bagaimana mungkin aku tidak percaya jika yang menyampaikan adalah seorang kenalan atau bahkan kawan dekat dengan si empu yang melakukan kejadian. Meskipun juga belum bisa kupastikan kebenarannya. Setidaknya sumbernya terlihat dapat dipercaya. “arek iku, pangkatnya belum apa-apa tapi mainnya sudah luar biasa. Gimana nanti kalau sudah diangkat, wah malah berbahaya.” Salah satu poin obrolan mereka saat berbicara tentang seorang kawan dengan pangkat masih di bawah tetapi sikapnya (bermain) dengan wanita sudah sangat luar biasa. Bagaimana nanti jika sudah naik pangkat? Apalagi yang akan dikerjakannya, mungkin jauh lebih berbahaya.
Poin hikmah yang bisa kita ambil dari kejadian ini adalah, bisa jadi seseorang bersikap demikian karena ia jauh dari Allah. Bisa jadi di wilayah tugasnya tidak banyak atau bahkan tidak ada orang yang diajak atau mengajak untuk selalu ingat kepada Allah. Kemungkinan lain yang menyebabkan hal itu terjadi adalah kurangnya teguhnya niat dalam hati saat bertugas. Hendaknya saat melakukan kegiatan kita niatkan untuk mencari ridho Allah. Maka insyaaAllah, Allah akan menghindarkan dan menjauhkan kita dari berbagai kejadian buruk di sekitar kita. Maka dari itu sahabat, mari kita mohon kepada Allah agar selalu melindungi kita di manasaja berada. Baik saat sekolah, bekerja, berwisata, dan kegiatan lainnya. Amiin~

follow me @qhimahatthoyyib

Jumat, Agustus 03, 2018

RUMAH SAKIT BERCERITA #1



                Assalamu’alaikum sahabat semua, semoga kita selalu dalam kondisi hati dan iman yang baik serta bersih. Meskipun pada hari ini sebagian kita mendapat cobaan, atau sebagian yang lain mendapat kesenangan mudah-mudahan kita selalu mendapatkan keberkahan. Amiin~ Sahabat, kali ini saya mencoba berkisah dan mengambil ibroh (pelajaran) dari kejadian-kejadian di Rumah Sakit selama saya berobat kurang lebih dua tahun terakhir.
                Pagi itu, seperti biasa aku berobat ke RS (Rumah Sakit) yang jaraknya sekitar 20 km dari rumah. Kontrol pertama setelah dua bulan lamanya aku meliburkan diri. Meskipun pada hari-hari sebelumnya keluhan itu ada, tetapi kucoba bertahan namun sia-sia. Semakin hari semakin parah, akhirnya kuputuskan untuk pergi ke RS. Meskipun harus melewati drama di puskesmas saat minta rujukan, karena aku libur minta rujukan dua bulan, seharusnya tidak boleh langsung kembali ke RS. Tapi petugas puskesmasnya baik sekali :) Alhamdulillah Allah masih memberikan kemudahan padaku.
                Kubuyarkan kebosanan menunggu antrian dengan membuka hape (handphone), membaca al-qur’an, memainkan game asah otak, menulis puisi, terkadang bercakap dengan orang sebelah dan apapun yang bisa dilakukan. Akhir-akhir ini aku menikmati buku yang baru saja kubeli NEGERI SENJA sambil menunggu antrian. Saat itu, ketika sedang menikmati story kawan-kawan di layar hapeku, aku mendengar seorang ibu berbincang dengan ibu lain di sampingnya. Obrolan ringan yang memang biasa dilakukan di rumah sakit, tidak jauh dari tema seputar penyakit, cara penanganannya, bagaimana di rumah, bagaimana pelayanan rumah sakit. Tetapi satu kalimat yang membuatku terhenti bermain hape dan fokus pada obrolan mereka adalah, ”bojoku mba seng loro, wong e maem e rewel, koyok gak gelem waras”, “iyo, lek wong lanang loro awak dewe repot, tapi lek awak dewe loro wong lanang iki gak gelem repot”.
                Percakapan mereka memang dalam bahasa jawa, maka kutuliskan seperti asalnya. Jadi begini, maksud dari kata-kata kedua ibu tersebut adalah sebagian keluarga jika suami yang sakit maka istri akan setia merawatnya, memenuhi segala kebutuhannya dan mendukung untuk kesembuhannya. Tetapi jika istri yang sakit maka seringkali suami acuh dan tidak bisa memberikan perawatan terbaik atau yang dibutuhkan istrinya. Setelah mendengar pernyataan tersebut, aku mulai berpikir sepertinya bukan kali pertama aku tahu akan hal itu. Saat di puskesmas, atau ruang rawat inap, atau IGD, banyak wanita terutama seorang istri dan ibu berpikiran sama, menyampaikan pendapat yang sama. Apakah memang hal tersebut terjadi pada sebagian besar keluarga? Tetapi hebatnya adalah wanita memiliki kemauan sembuh lebih besar daripada pria. Terlebih jika wanita tersebut adalah seorang istri yang merasa dibutuhkan oleh suami atau ibu yang merasa dibutuhkan oleh anak-anaknya.
                Di masa-masa sakit seperti ini, kisah epik dan heroik yang selalu terlintas adalah kisah Nabi Ayyub. Bagaimanapun di masa sulit beliau, sang istri satu-satunya yang mau merawatnya dengan sabar selama 7 tahun. Bukan waktu yang sebentar, tetapi jika dibandingkan dengan nikmat Allah yang sudah diberikan bertahun-tahun lebih lama maka kata beliau 7 tahun bukanlah apa-apa. Ketika seorang istri dengan sabar dan rela merawat suaminya, serta sellau mendekat kepada Allah, maka keberkahan dan kemudahan akan diberikan oleh Allah kepada keluarga kita. Setelah masa suit itu, akhirnya harta mereka kembali, anak-anak pun dilahirkan lagi. Semoga kita selalu dapat mengambil hikmah dari semua kejadian yang kita alami. Sampai jumpa di Rumah Sakit Bercerita selanjutnya. Semoga bermanfaat~

follow me @qhimahatthoyyib