Sabtu, November 21, 2020

Menapaki Kelucuan Takdir


                Salah satu hal yang selalu membuat manusia penasaran adalah Takdir. Dengan siapa kita dipertemukan? Dengan siapa kita dinikahkan? Di mana kita disekolahkan? Di mana kita dipekerjakan? Dan segala hal tentang rejeki apa yang akan Dia berikan? Hingga suatu saat kita tahu jawabannya, kita tahu maksudnya mengapa dulu hal ini tidak dan itu dikabulkan, atau sebaliknya hal itu tidak dan ini diiyakan. Meskipun kita berhak memilih jalan kita sendiri, tetapi hanya Dia yang memberi restu dan persetujuan.

                Satu kisah lucu ini terjadi lima belas tahun lalu.

                Setelah dua setengah tahun bersekolah di salah satu madrasah dasar di Tanggulangin, Sidoarjo, akhirnya aku diijinkan mengikuti ujian nasional (UN) yang hasilnya akan menentukan kelulusanku. Selain UN, hal lain yang menjadi persoalan bagi siswa-siswi kelas 6 MI adalah kelanjutan sekolah ke tingkat menengah. Tak terkecuali aku. Namun sebenarnya, orangtua telah memberiku penjelasan bahwa aku akan melanjutkan sekolah di pondok pesantren. Jadi aku tak perlu khawatir tentang hal itu.

                Sejak dulu, aku tak pernah komplain tentang sekolah. Dipondokkan oke, tidak pun juga tak masalah. Tetapi, satu hal yang tak pernah kualami sejak tingkat SD hingga SMA adalah bersekolah di sekolah umum negeri. Selama sembilan tahun, aku tak pernah punya kawan selain beragama Islam. Karena sejak awal, aku merasa nyaman dengan hal itu. Saat pindah dari Surabaya ke Sidoarjo pun demikian, aku minta disekolahkan di MI daripada SDN. Beruntung, orangtuaku menemukan satu-satunya MI di desa sebelah, tetangga terdekat dari perumahan tempat tinggalku. Tak kusangka, di madrasah itu, aku bertemu seorang kawan sekelas dari perumahan yang sama denganku (meski beda blok). Saat pertama kali aku masuk, yaitu kelas 4 semester dua, hanya ada kami bertiga (aku, adekku, dan seorang kawan itu) yang berasal dari perumahan di antara seluruh siswa-siswi satu madrasah. Namun tahun berikutnya, saat aku kelas 5 dan 6, akhirnya ada tiga kawan baru (yang kebetulan adalah teman sekelasku) dari perumahan itu.

                Tetiba suatu hari, orangtua memintaku untuk mengikuti tes masuk salah satu SMPN kecamatan sebelah, yang perjalanannya masih dapat kutempuh dengan sepeda ontel. Untuk uji coba katanya, untuk mengukur kemampuanku. Walhasil, Qodarullah, aku tak lolos, namaku tak ada di papan pengumuman penerimaan. Entah apakah aku benar akan disekolahkan di sana dan tak jadi dipondokkan jika diterima di SMPN itu, atau itu benar hanya untuk uji coba. Selang beberapa waktu setelah tes, masa lulus MI pun tiba. Akhirnya, aku dipondokkan di salah satu ponpes di Surabaya. Selulus dari ponpes itu, Alhamdulillah, aku adalah satu dari empat teman seangkatan yang diterima dan diberi beasiswa oleh MAN Insan Cendekia Serpong.

                Ya, itu adalah salah satu takdir lucu yang terjadi padaku. Tak diterima di sekolah yang menurut kita terbaik bukan berarti kita tak pantas mendapatkan hal yang baik. Allah akan memberikannya tepat waktu, bahkan menggantinya dengan suatu hal yang lebih baik. It’s surprise, dan kita tak pernah tahu kapan hal itu terjadi. Tetapi kita harus mengusahakan yang terbaik untuk meminta Allah memberi kita takdir yang baik. Wallahu a’lam.

follow me @qhimahatthoyyib

Kamis, November 19, 2020

Bertamu dan Menjamu


                Salah satu hal menarik yang diajarkan oleh orang tuaku adalah adab bertamu dan menjamu tamu. Karena cara mengajarkannya adalah secara langsung dengan perilaku dan aku mengamatinya sehingga hal itu dapat mempengaruhi kebiasaanku. Hal terkait ini sebenarnya telah diajarkan oleh Rosulullah SAW kepada kita melalui hadits tetapi penerapan dalam kehidupan sehari-hari sepertinya tidak sesempurna yang beliau sunnahkan. Jika sahabat cek di web hadits.id dan mengetikkan kata tamu, maka akan muncul sekitar seratus hadits yang berkaitan. Hadits-hadits itu dikumpulkan di dalam kitab makanan, kitab minuman, dan kitab adab, bahkan ada pula di dalam kitab barang temuan, kitab wasiat dan kitab pajak.

                Pada lembaran ini, akan kuceritakan kejadian menarik yang berkaitan dengan hal itu.

                Kisah ini terjadi dua tahun lalu, yaitu pada Juli 2018. Hari itu aku diminta adek untuk mengantarnya bertamu ke seorang temannya (yang juga temanku). Tujuan kunjungan kami adalah untuk mengambil kamera yang telah dibeli adek dari si teman. Tentu saja kami datang tidak dengan tangan kosong. Seperti yang biasa orangtua kami lakukan saat bertamu, yaitu membawa sesuatu. Jika tak ada acara khusus atau tak tahu keperluan yang dibutuhkan oleh tuan rumah, hal yang paling mudah dibawa adalah (sebagian) sembako. Namun saat itu, karena si teman memiliki bayi, maka kami membawa hadiah untuk si bayi.

                Sesampainya di rumah si teman, kami dipersilakan duduk di ruang tamu sementara ia sedang bersiap. Teman itu pun menemui kami dan membicarakan banyak hal, karena itulah pertemuan pertama adek dan teman setelah 6 tahun tak bertatap muka. Kalau denganku, sepertinya itu kali pertama bersua setelah 4 atau 5 tahun tak berjumpa. Selama sekitar satu jam berbincang, tak ada segelas air pun yang dihidangkan untuk kami. Meskipun masih dalam suasana bulan syawwal, meja di ruang tamu itu tampak kosong. Ada beberapa wadah plastik yang isinya sudah sangat menipis. Itupun juga tak dipersilahkan untuk dinikmati. Malam itu, jejak kemeriahan menjamu tamu masa idul fitri sepertinya sudah tak tampak di rumah ini.

                Kejadian itu sangat berbeda dengan kisah yang baru saja kualami senin malam kemarin. Aku menemui seorang teman untuk mengambil sebuah undangan yang ditujukan untukku. Teman itu mempersilakanku masuk ke dalam kos-nya, tetapi aku menolak dan menurutku, kami tak akan lama berbincang karena hampir tengah malam. Ternyata dugaanku salah. Kami menghabiskan waktu satu jam untuk mengobrol, padahal hanya satu tahun saja kami tak bersua dan beberapa waktu lalu pun kami sudah bertemu di reuni virtual angkatan kami.

Aku menemuinya sepulang mengajar privat. Sebelumnya, aku berencana mampir ke mart untuk membeli sesuatu untuk si teman, tetapi ternyata tak perlu. Aku mendapatkan rejeki seplastik buah mangga dan sekotak roti dari ibu adek les. Sesampainya di kos teman, setelah sekian lama berbincang, kuberikan beberapa buah dan kue itu padanya. Ternyata, tanpa kuduga, dia memberiku dua kotak susu liter-an yang ia dapat dari kantornya.

‘’Ini buat kak ota. Aku dapat banyak dari kantor dan gak mungkin kuhabisin sendiri”, katanya.

“Wah, makasih ya, ternyata kita barter hehe, bisa dipakai bikin kue ini”, jawabku.

Kalimat yang ia tujukan padaku saat memberikan dua kotak susu itu sangat menarik bagiku. Entah dia sendiri sadar atau tidak, direncanakan dan disengaja atau tidak. Karena sebelumnya, aku menanyakan apakah ada kulkas untuk menyimpan beberapa buah yang kuberikan, dan jawabannya ‘ada’. Jika ada, maka seharusnya susu (yang menurutnya banyak) itu bisa disimpan, ditambah lagi masa kadaluarsanya adalah tahun depan. Jadi, sebenarnya tak ada alasan baginya untuk memberikan sebagian susu itu padaku.

Sahabat, hal menyedihkan dan menggembirakan ini dapat terjadi karena mungkin kita melihat hal yang sama atau serupa dari orangtua dan lingkungan kita. Menjamu tamu dengan baik atau tidak. Bertamu dengan baik atau tidak. Kebiasaan-kebiasaan itu bermula dari satu hal kecil yang terjadi pada diri kita. Secara teori tentu saja kita semua tahu, namun secara praktik, sangat perlu kita latih setiap waktu. Sejauh yang kuamati dari kebiasaan orangtuaku, semua orang luar yang tidak tinggal di rumah yang sama dengan kita adalah tamu. Baik itu saudara, teman, orang asing yang datang untuk urusan bisnis, survei, dll bahkan orang yang kita pekerjakan di rumah kita. Hal yang paling mudah kita lakukan untuk menjamu tamu adalah memberikan segelas air minum. Jika kondisi cuaca panas, maka kita bisa upgrade hidangan menjadi air dingin, atau air manis dingin seperti es teh manis dan es sirup. Kalau kondisi cuaca dingin, maka kita bisa hidangkan air hangat. Jamuan menjadi lebih lengkap jika kita tambahkan cemilan pendamping atau bahkan makan besar ketika waktunya makan. Kalau kita sudah tahu selera tamu, maka hidangan bisa kita sesuaikan dengan kesukaan tamu. Wallahu a’lam, Barokallah fiikum.

follow me @qhimahatthoyyib

Selasa, November 17, 2020

SKETSA PANDEMI-Bagian 5

 

                Riset bulan April 2020 menyebutkan bahwa prediksi berakhirnya pandemi covid-19 di Indonesia terjadi pada awal bulan Oktober 2020. Sebulan telah berlalu, namun ternyata pandemi itu belum berakhir. Sayangnya, sebagian masyarakat sudah tak peduli. Tak melakukan protokol kesehatan dengan semestinya hingga beraktivitas semaunya. Ya, namanya juga manusia, sifatnya pasti beda-beda. Dengan demikian, penelitian terbaru terbitan Oktober 2020 menyebutkan prediksi mundurnya akhir pandemi hingga pertengahan tahun 2021 dan sangat mungkin terjadi pandemi gelombang kedua jika kita abai dan tidak menangani permasalahan ini dengan serius.

                Tentu saja masih banyak orang yang peduli dengan protokol kesehatan yang telah disepakati. Mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, mengurangi aktivitas di luar rumah, mengurangi aktivitas berkerumun dengan banyak orang, hingga mengurangi silaturrahim fisik. Akibatnya, banyak orang saling merindu karena sudah hampir setahun tak bertemu. Termasuk aku. Kerinduan itu membuncah, terlebih karena tahun ini adalah tahun kelima angkatanku C-29 CHEM11TS (saat kuliah sarjana) berpisah pasca wisuda, juga tahun kelima pasca lengsernya Keluarga Harmoni (kabinetku di LDK JMMI ITS). Selain itu, adalah tahun kesembilan angakatan ke-14 AXIVIC MAN IC Serpong berpisah pasca lulus. Sedangkan tahun depan, saat tahun kesepuluh, kami sudah berencana (sejak sepuluh tahun lalu) untuk reuni di sekolah. Mudah-mudahan kondisi sudah membaik sehingga rencana itu bisa terlaksana. Oleh karena iitu, kami memutuskan untuk temu virtual lebih dahulu via portal zoom.

                Mei 2020, temu virtual (all member) pertama AXIVIC. Pembahasan ringan mulai dari update kabar per orang, update kabar dan kondisi sekolah, tausiyah dari salah satu guru dan QnA. Berlanjut Juni, kami membahas permasalahan krusial yang terjadi pada masyarakat khususnya untuk seusia kami. Ya, finansial terutama terkait investasi pada temu kedua, kesehatan mental (pribadi dan keluarga) pada temu ketiga. Lalu Agustus ada temu menyambut Tahun Baru Islam, hingga September ada temu membahas persiapan mengahadapi resesi ekonomi. Pembahasan yang beragam karena angkatan kami berlatar pendidikan tinggi yang beragam, ada yang sudah jadi penulis, ada yang otw jadi hakim, ada yang lawyer, ada yang dokter dsb dsb yang sungguh keren dan mulia pekerjaannya. Saat ramai UU Cipta Kerja, grup virtual kami juga membahas itu, tapi temu virtual tak diadakan sebab organisasi alumni IAIC (Ikatan Alumni Insan Cendekia Serpong) telah mengadakan kajian dengan pembicara (dari alumni) yang sangat kompeten di bidang terkait.

                Nopember 2020, tetiba ketua angkatan CHEM11TS meminta temu virtual. Seperti ada hal urgent yang harus dibahas segera. Lebih dari seratus orang, mungkin 144, (aku sendiri lupa berapa angka pastinya, karena di tengah perjalanan studi ada beberapa member yang keluar) dikirimi pesan pribadi untuk menentukan jadwal. Ternyata benar, pertemuan pertama kami, tanpa basa-basi update kabar dll, materi financial planning dan investasi langsung disodorkan. Sharing pengalaman dan diskusi terkait investasi, bisnis dan sejenisnya, kami lakukan. Juga ada games yang dilombakan, hadiah yang diperebutkan dan video nostalgia yang diputarkan. Setelah itu, mungkin akan ada temu kedua dan seterusnya, tapi entah kapan. Mudah-mudahan silaturrahim ini dapat terus berjalan.

follow me @qhimahatthoyyib

Minggu, November 15, 2020

One of The Sights – Mr. Brain

 

                Salah satu genre film/drama jepang kesukaanku adalah science fiction. Berbeda dengan drama korea atau barat, sedikit sekali atau bahkan hampir tidak ada bumbu romantisme pada drama jepang khusus bertema medical, detective, law dan science yang pernah kutonton. Salah satu drama science unik yang membuatku ingin beralih bidang keilmuan yaitu drama yang ditayangkan tahun 2009 berjudul ‘Mr. Brain’. Drama ini menarik karena paduan plot cerita detektif-kepolisian dengan penyelesaian sains. Sehingga aku terinspirasi untuk menjadi kimiawan forensik dan menyelesaikan kasus di kepolisian. Akhirnya, aku mengambil mata kuliah kimia forensik dan biokimia genetik. Namun, ternyata aku tak jadi melakukan kerja praktik (tahun terakhir sarjana) di kantor polisi. Sampai saat ini pun, aku belum pernah sama sekali berpengalaman di bidang itu.

                The National Research Institute of Police Science (IPS).

Tsukumo sensei, seorang neurosaintis yang di setiap episodenya mampu menyelesaikan persoalan-persoalan kriminal. Tentu saja dibantu oleh saintis bidang lain yaitu image analyst, sound and voice analyst, ahli kimia, dan ahli biologi. Ia sangat menyukai pisang karena kandungan gizi yang dapat meningkatkan kerja otak. Karakternya yang unik eksentrik itu membuatnya tak disukai oleh para polisi dan saintis lain saat awal-awal pertemuan. Namun, seiring berjalan waktu mereka sangat mengandalkan Tsukumo sensei karena ia dapat memecahkan persoalan dengan baik, benar dan efektif. Selain itu, para saintis juga terpengaruh oleh kebiasaannya makan pisang di tempat kerja.

Sebenarnya, anggota IPS tidak boleh berinisiatif dan ikut melakukan penangkapan. Tapi, Tsukumo sensei selalu ingin berkomunikasi dan bertemu dengan (terduga) pelaku, korban dan saksi untuk mempelajari secara langsung (isi) otak mereka. Dengan demikian, ia akan tahu apakah orang itu berbohong atau menyembunyikan sesuatu. Seringkali ia juga menggunakan alat bantu yaitu fMRI (merek APERTO Eterna-Hitachi)—yang sepertinya adalah iklan drama ini—untuk mengetahui kebenaran yang ditunjukkan oleh salah satu bagian otak yaitu hipokampus. Karena prinsipnya, mulut manusia bisa berbohong tapi tidak dengan otaknya.

Seperti plot cerita detektif pada umumnya, setiap episode drama ini mengandung satu kisah masalah sederhana dan potongan cerita dari satu masalah kompleks yang diceritakan berkesinambungan. Persoalan mengejutkan yang terjadi yaitu musuh besar kepolisian yang selama ini dicari ternyata adalah seorang polisi yang ada di dalam grup dan kantor yang sama. Keanehan ini sudah ditunjukkan sejak episode pertama, lalu dimunculkan pada episode-episode berikutnya hingga diselesaikan di episode terakhir.

sumber gambar: google


Tujuan Tsukumo menjadi seorang neurosaintis yang sebenarnya adalah untuk mempelajari otaknya sendiri. Keanehan yang terjadi di dalam otaknya itu muncul setelah ia mengalami kecelakaan lima tahun sebelum ia bergabung dengan tim saintis IPS. Ia yang dulu adalah seorang host sebuah klub malam, kini menjadi seorang yang lebih rasional, lebih cerdas, dan memiliki tujuan. Drama ini diakhiri dengan kepergiannya ke Amerika karena jurnalnya yang menarik.

Pada dasarnya, neurosaintis mengetahui kinerja dari bagian-bagian otak manusia. Sebagian mereka juga mempelajari tingkah laku dan proses berpikir seseorang. Sehingga para ahli otak dapat dengan mudah memanipulasi pikiran dan psikologis orang lain. Meskipun demikian, sampai saat ini aku belum pernah berhubungan secara langsung dengan mereka. Selain itu, peralatan keren, canggih dan sangat menakjubkan yang ditunjukkan di dalam drama ini juga sampai saat ini belum kuketahui ada atau tidaknya kecuali fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging). Aku tahu keberadaannya karena aku pernah diperiksa dengan MRI (meski sedikit berbeda), tapi terkait kegunaan fMRI untuk memeriksa ingatan pada hipokampus (terduga) pelaku belum pernah kuketahui beritanya. Sejauh ini, hingga tahun 2019, jurnal terkait neuroscience menggunakan fMRI untuk pemeriksaan pasien medial Temporal Lobe Epilepsy (mTLE), penderita emotional disorder, penderita alzheimer dan penyakit otak/emosi lainnya. Namun, sepuluh tahun telah berlalu sejak tayangan drama itu, mungkin sebagian fasilitas canggih itu sudah ada di suatu tempat (di negara maju) yang belum kita tahu.

follow me @qhimahatthoyyib

Jumat, November 13, 2020

SKETSA PANDEMI-Bagian 4

 

                Di tengah kebahagiaan kaum muslim menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAW., menyiapkan perayaan dan acara-acara kemaulidan Rosulullah, saat itu terjadilah suatu hal yang tak diinginkan. Hal itu adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, hal yang memunculkan kemarahan di hati muslimin muslimat sekalian. Ya, di sebuah negara yang berada jauh di ujung eropa, negara yang dijuluki dengan negeri mode dan fashion, negara yang ‘katanya’ menganut asas kebebasan, terjadi (untuk ke-sekian kalinya) suatu hal yang sangat mengecewakan.

                Beramai-ramai umat Islam di seluruh dunia (kembali) bersatu. Melawan balik dengan mengecam perbuatan buruk itu, memboikot produk negara itu, dan menjadikan kasus itu sebagai bahan pelajaran pada kajian maulid Nabi, serta meningkatkan kecintaan muslimin muslimat pada Rosul SAW. Hingga hari ini, kasus itu masih diperbincangkan sebagian kalangan. Sebagian yang lain, sudah disibukkan dengan persiapan dan perayaan pilkada (pemilihan kepala daerah) serentak.

                Hikmah selalu ada pada setiap kejadian. Baik atau buruk pun demikian.

                Tanggal 25 Oktober 2020. Alhamdulillah, akhirnya aku menyandang gelar master setelah sekian puluh purnama kulewati. Berharap ilmu ini bermanfaat untuk diriku sendiri, untuk umat islam  dan untuk bangsa ini. Berharap ilmu ini menjadi berkah untuk siapapun. Berharap hal ini memberi kebahagiaan pada siapapun, terutama para dosen dan orangtuaku yang tak henti-hentinya mendoakan dan membersamai perjuanganku selama ini.

                Lulus sarjana dan lulus master, pun nanti jika lulus doktor, tak berarti perjuangan telah berakhir. Justru saat itulah, kisah petualangan yang baru akan dimulai. Roda kembali berputar, sukses dan gagal kembali dipergulirkan, langkah-langkah pun harus terus dipertimbangkan dan belajar dari masa lalu sudah pasti adalah hal yang harus dilakukan. Selamat dan sukses sahabat seperjuangan. Siapapun kalian yang tengah berjuang, bangkitlah dan jangan mengalah dengan keadaan. Karena keterpurukan hanyalah buah dari prasangka dan pikiran, begitupun dengan kegemilangan.

follow me @qhimahatthoyyib

Rabu, November 11, 2020

One of The Sights – Kimi ni Todoke

 

                Sahabat, masih ingat tulisanku berjudul ‘Segar dan Menyegarkan’ dan ‘Sesegar Marjan’? Untuk sahabat yang belum baca, boleh lah klik kedua link itu dulu. Sejujurnya, tulisan itu terinspirasi dari salah satu film jepang yang akan kita bahas kali ini. Yap, seperti yang sudah sahabat baca di judul tulisan ini, yaitu film berjudul ‘Kimi ni Todoke’. Film ini diadaptasi dari komik dengan judul yang sama dan ditayangkan tahun 2010. Dari film itulah pertama kali kudengar kata ‘sawayaka’, yang artinya segar, menyegarkan, clear, fresh and eloquent. Kata tersebut sangat menarik buatku, karena aku baru pertama kali mendengar kata yang unik untuk mendifinisikan karakter seseorang. Selama ini mungkin di Indonesia kita sering dengar kata pintar, cerdas, kaya, pandai, elok, cantik, tampan, berkarisma, kuat, tegas, murah senyum, dan sejenisnya untuk mendefinisikan seseorang. Namun sangat jarang, barangkali juga tak pernah, sahabat mendengar kata segar dan menyegarkan untuk mendifinisikan karakter orang. Kalau definisi isi pembicaraan mungkin pernah, misalnya ‘tausiyahnya nyegerin banget’ atau ‘orang itu nyegerin kalau ngomong’.

Pada tulisan lama, kucari langsung referensi dari Qur’an. Namun kali ini, kita akan review filmnya.

Sawako (yang dipanggil Sadako oleh teman-temannya), seorang cewek pendiam berusia 16 tahun. Baginya, mengungkapkan pikiran adalah hal yang tak mudah. Sehingga hal itu membuatnya sering disalahpahami oleh teman-temannya. Ia juga ditakuti karena rambut panjang yang membuatnya mirip dengan sosok hantu sadako. Suatu hari, dalam perjalanan ke sekolah SMA untuk pertama kalinya, ia melihat seorang yang tampak kebingungan mencari jalan. Sawako membantunya karena menurutnya sosok itu dari sekolah yang sama (terlihat dari seragamnya).

Kazehaya, seorang cowok ‘sawayaka’ ini pertama kali bertemu dengan Sawako di pertigaan jalan, di bawah merah jambunya helai bunga sakura yang berterbangan. Cewek mungil itu membantunya menemukan jalan ke sekolah saat hari pertama penerimaan. (Sepertinya) Sejak saat itu, ia tertarik dan terus mengamati cewek yang unik (penampilan dan sikapnya) itu. Meskipun mereka berdua sekelas, ternyata ia tak bisa sekalipun berbicara dengan Sawako. Sampai suatu hari, ia berkesempatan untuk bicara dengan Sawako dan mereka berdua pun mulai dekat. Namun, isu buruk yang beredar membuat Sawako menjauhinya. Sawako juga menjauhi kedua (cewek) teman dekatnya. Hoaks itu dibuat oleh seorang cewek yang iri dengan kedekatan Kazehaya-Sawako.

sumber gambar: google


Sawayaka, adalah julukan yang diberikan oleh Sawako kepada Kazehaya saat ia ditanya oleh gurunya, “Bagaimana pendapatmu tentang Kazehaya?”. Sepertinya tak ada satu pun yang tahu julukan itu melainkan hanya Sawako dan gurunya. Di bagian akhir filmnya, Kazehaya akhirnya mengetahui (entah dengar atau tidak) julukan itu setelah diberitahu oleh gurunya. Saat itu sang guru memintanya untuk mengembalikan buku siswa milik Sawako yang sudah beberapa pekan hilang ‘ketlisut’ di meja guru itu. Kazehaya segera mengembalikan buku siswa itu. Ia menemui Sawako, di malam tahun baru, tepat di hari ulang tahunnya, di bawah pohon sakura tempat pertama kali mereka bertemu. Film itu pun berakhir gembira.

Karakter Kazehaya yang supel, pandai bergaul, selalu menyenangkan orang lain, wajahnya yang periang membuat Sawako kagum dengannya. Karakter yang tak bisa digambarkan hanya dengan satu kata. Karakter yang layak ditirukan oleh siapapun. Jika Sawako saja ingin menirunya, maka aku pun demikian. Sisi negatif yang ada padanya? tentu saja tak layak kita tirukan.

follow me @qhimahatthoyyib

Senin, November 09, 2020

SKETSA PANDEMI-Bagian 3

 

                Alhamdulillah, ini adalah tulisan bebas ke-101 (di luar tulisan bulan Romadhon ’36 dan ‘37 H serta tulisan tentang Keluarga Harmoni) setelah sepuluh tahun aku menulis di blog ini. Meskipun tidak rutin, tak pula banyak pembaca, aku bersyukur masih bisa dengan bebas menuliskan banyak hal dan memberikan manfaat untuk sahabat pembaca. Tentangku, tentang keluargaku, tentang ilmuku dan tentang semua yang ada di pikiranku. Ya.. mudah-mudahan gak akan kena UU ITE yang menjebak itu sih. Hmm, parah sih emang, belum lama dibuat aja udah menimbulkan banyak kegaduhan. Banyak pasal karet katanya. Saat itu, sudah jelas banyak masyarakat termasuk kaum terpelajar menolak RUU itu. Tapi yaa, tetap aja tuh disahkan oleh yang berwenang.

                Belum lama ini juga, lagi-lagi DPR (Dewan Perwakilan Rakyat ‘katanya’) dan pemerintah membuat keributan dengan masyarakat. Mereka telah mengesahkan Omnibus Law, kumpulan berbagai UU, termasuk di dalamnya adalah UU Cipta Kerja. UU itu mengkhawatirkan banyak pihak, mulai dari pekerja, pengusaha hingga investor. Namun, seperti kita ketahui, endingnya tetap saja RUU itu disahkan menjadi UU. Lucunya, jumlah halaman dan isi dari UU tersebut berubah-ubah setelah disahkan. Bukannya menyelesaikan masalah pandemi, pemerintah malah membuat masalah baru. Atau jangan-jangan memang sengaja untuk mengalihkan perhatian? Yaahh.. who knows~

                Pandemi, ternyata tidak banyak mengubah perilaku manusia, termasuk masyarakat Indonesia. Setelah satu semester menjalani kehidupan yang lumayan ketat dan membosankan, orang-orang kembali menjalani kehidupannya dengan bebas seolah masa pandemi telah berakhir. Banyak alasan yang memang tak dapat disalahkan. Kondisi keuangan misalnya, rindu berkumpul dengan keluarga, ingin jalan-jalan bersama dengan kesayangan, atau sekedar iri dengan negara yang telah berhasil menekan penyebaran si virus. Meskipun demikian, kita terus berdoa agar Allah selalu menjaga negeri ini dan meridhoi kebaikan yang kita niatkan dan kita perbuat.

                Allah selalu memberikan kemudahan di tengah kesulitan yang terjadi. Ia selalu menepai janji.

                Tiga setengah tahun adalah jangka waktu abnormal untuk menyelesaikan studi magister. Studi itu harusnya selesai dalam waktu singkat, hanya 1,5 atau 2 tahun saja. Namun, kondisi yang tak biasa terjadi padaku. Seperti kukisahkan pada lembar-lembar sebelumnya. Di tengah perjalanan, tentu saja ada sepercik rasa ingin menyerah. Penyakit yang muncul, penelitian yang tak kunjung selesai, biaya belajar yang tak murah adalah sebagian sebab munculnya perasaan itu. Namun tentu saja, lebih banyak sebab lain yang memicuku untuk melanjutkan dan menyelesaikan amanah ini hingga akhir. Perlukah kutuliskan? Mungkin enggak ya, karena terlalu emosional dan mungkin sebagian sahabat yang mengalami ujian serupa sudah mengetahui alasannya hhe~ Ya, semoga Allah selalu memberi kita kekuatan untuk menyelesaikan persoalan duniawi yang sangat kecil ini.

follow me @qhimahatthoyyib

Sabtu, November 07, 2020

One of The Sights - Tenno no Ryoriban

 

                Sahabat sekalian yang mungkin sudah mengenaliku dari tulisan-tulisan yang kubuat, pasti tahu kalau aku hobi belajar bahasa asing, seperti bahasa jepang, korea, dan china. Tentu saja, pengaruh paling banyak berasal dari entertainment, film kah, drama kah, variety show kah dan tayangan semisalnya. Saat ini, belajar jadi lebih mudah dengan adanya platform youtube. Semua bisa ditemukan di sana. Kita pun bebas memilih guru yang cocok dengan keinginan dan gaya belajar kita. Selain bahasa, tontonan juga memberi kita pengetahuan tentang budaya, habit, hingga sejarah latar negara yang ditampilkan. Oleh karena itu, bertemakan ‘One of The Sights’, aku menuliskan insight yang kudapatkan dari hasil nonton. Agar kejahilan yang dulu kulakukan itu setidaknya bermanfaat.

                Tayangan pertama yang kita review adalah drama berjudul ‘Tenno no Ryoriban’. Seperti bisa ditebak dari judulnya, drama jepang yang tayang tahun 2015 ini menceritakan seorang chef di istana kaisar. Drama ini sangat menarik untukku karena ternyata produksinya terinspirasi dari kisah nyata. Terlebih untuk sahabat yang punya hobi nonton drama jepang, mungkin tidak akan melewatkan tayangan unik ini. Drama ini membuatku tertarik untuk mencari dan membaca kisah lengkap si tokoh utama, yang ternyata dapat dengan mudah kita cari dengan bahasa inggris.

                Tokuzo, si tokoh utama, dikisahkan sebagai seorang yang sangat inspiratif. Lahir di keluarga yang cukup berada, ia adalah anak kedua dari empat bersaudara yang semuanya adalah lelaki. Karakter Tokuzo sangat unik, berbeda dengan kakaknya yang bertanggungjawab, pun berbeda dengan adeknya yang cukup dewasa, ia adalah seorang anak yang usil, tak sabaran, dan (mungkin) pengacau. Di usianya yang ke-16, ia sudah beberapa kali kabur dari pekerjaan (kegiatan) yang ia pilih sendiri. Ia tak sabar belajar, tak sabar menghadapi ujian dan selalu kabur setelah 3 bulan bekerja.

Sifatnya yang demikian membuat orangtua terutama sang ayah geram. Berkali-kali dinasehati tapi tak dihiraukan. Akhirnya, ia dinikahkan dengan seorang wanita dari keluarga kaya yang berasal dari desa sebelah. Karakter si istri yang sabar sangat cocok dengan Tokuzo yang pecicilan. Tapi, hal itu tentu saja menyakitkan, karena akhirnya si istri lebih banyak mengalah. Orangtua si istri tentu saja tidak diam melihat anaknya diacuhkan. Sang ayah akhirnya memutuskan untuk berkunjung ke rumah orangtua Tokuzo untuk memintakan cerai karena selain mengacuhkan istrinya, ia juga tidak serius menjadi kurir dan marketer usaha keluarga. Terlebih saat diketahui, ternyata ia diam-diam belajar memasak di kamp militer (salah satu pelanggan tetap) selama berbulan-bulan dengan dalih melakukan penawaran dagangan keliling.

sumber gambar: google


                Keinginannya menjadi juru masak ternyata sangat membuncah sehingga membuatnya ingin pergi ke Tokyo untuk belajar dari guru utama.  Tapi tentu saja, sang ayah tidak menghiraukan keinginan tersebut, karena mungkin itu adalah ambisi sementara seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Singkat cerita, Tokuzo akhirnya belajar di suatu restoran terkenal di Tokyo dan mengalami beberapa persoalan. Meskipun demikian, ternyata ia tak mudah menyerah, karakternya cukup mengalami perubahan. Ketekunannya belajar dari dua tempat yang berbeda, ternyata malah memberi masalah besar untuknya.

                Hingga suatu hari, setelah semua permasalahan di Tokyo selesai, ia nekat belajar ke tempat yang lebih jauh. Paris, pusat resep ternikmat dari juru masak terbaik. Akhirnya, dengan segala keteguhannya untuk belajar dan segala kesabarannya menghadapi masalah, ia berhasil menjadi koki ‘Escoffier’ dari Jepang. Kemudian ia kembali ke jepang dan diminta menjadi kepala chef di dapur istana kaisar. Tokuzo, tentu saja menerima tawaran itu. Ia akhirnya menjadi seseorang yang ia impikan, yaitu juru masak nomer satu di Jepang. Ia berhasil menaklukkan ego dan habit buruknya, hingga ia mendapatkan kepercayaan di usianya yang ke-25 sampai ke-83, sejak tahun 1913 (masa kekaisaran Taisho) sampai 1972 (masa pertengahan kekaisaran Showa).

                Sahabat, suksesnya seorang pemuda di usia 20-an ternyata bukan hal yang mengejutkan. Jauh sebelum kisah ini terjadi, pada zaman Rosulullah pun demikian. Meskipun Rosulullah diangkat menjadi Nabi pada usianya ke-40, tetapi kegemilangan beliau saat muda dan para sahabat muda lainnya juga banyak dikisahkan. Azzam yang kuat, niat yang baik dan usaha yang keras tentu saja menjadi beberapa faktor penentu keberhasilan. Sahabat, selamat berjuang dan sampai jumpa di kisah-kisah selanjutnya~

follow me @qhimahatthoyyib

Kamis, November 05, 2020

SKETSA PANDEMI-Bagian 2

 

                Masyarakat Indonesia dan juga seluruh dunia sedang berduka. Banyak korban berjatuhan akibat makhluk kecil satu ini. Masyarakat sipil, militer, anak-anak, orang tua, rakyat biasa, hingga pejabat bahkan petugas kesehatan tak terlewatkan sebagai korban. Januari 2020, kudengar pertama kali kejadian bermula di suatu tempat, di sebuah negeri daratan, beberapa ribu kilometer di sebelah utara pulau Jawa. Hingga maret 2020, kondisi itu merambah dan terjadi di Indonesia, tepat di ibu kota. Pertokoan, sekolah, kantor, dan segala tempat keramaian ditutup. Kejadian ini, memang tak menguntungkan untuk manusia, tapi mungkin menguntungkan untuk makhluk lain. Perbaikan kondisi bumi misalnya, atau perbaikan habitat sebagian flora fauna.

                Seketika mewabah di Indonesia, meskipun berjarak beberapa ratus kilometer dari pusatnya, kampusku mengondisikan diri untuk tutup. Saat jadwal hari pertama wisuda masih di gedung, namun jadwal hari kedua dengan sekejap berubah menjadi daring. Dosen dan pegawai dirumahkan, mahasiswa pun dipulangkan. Kampusku membenahi diri, menyiapkan protokol dan melengkapai perangkat lain yang dibutuhkan agar kehidupan kampus dan pembelajaran segera kembali berjalan.

Pandemi mengubah semua kondisi. Tak terkecuali, aku.               

Dosen pembimbingku yang tak lagi muda, memilih untuk bekerja sepenuhnya dari rumah meskipun diberi pilihan dari kampus untuk bekerja sebagian di kantor dan sebagian di rumah. Grup kami melakukan pertemuan daring sepekan sekali agar penelitian tetap terpantau dengan baik. Namun, karena laboratorium ditutup sementara sebelum semuanya selesai disiapkan, sehingga aku dan beberapa kawan tidak dapat melanjutkan penelitian. Padahal kami dituntut untuk berakhir dan lulus semester ini (bulan agustus lalu).

Sejak saat itu, perubahan yang signifikan terjadi padaku. Terutama pada penelitian yang kukerjakan. Target penelitianku berubah, dipermudah. Bapak pembimbing memberi keringanan padaku, menyesuaikan dengan data yang telah kudapatkan dan menyesuaikan dengan hal yang bisa kulakukan secepat mungkin di masa sulit ini. Alhamdulillah, aku sangat beruntung tahun ini. Meskipun kesulitan terjadi, kemudahan pun selalu mengikuti.

Beberapa pekan setelahnya, semua persiapan dan perangkat selesai dilengkapi, akhirnya kampus dibuka kembali dengan protokol kesehatan yang ketat. Namun, hanya diperbolehkan untuk mahasiswa yang melakukan penelitian di laboratorium. Kalau adek tingkat yang hanya kuliah di kelas, ya masih di rumahnya masing-masing. Masuk ke dalam lab dan kantor pun terjadwal. Sehingga, kami tak leluasa bekerja seperti sebelumnya. Namun demikian, sesegera mungkin target yang sudah diringankan itu kuselesaikan. Meskipun ada perasaan tak rela karena berbeda dengan mahasiswa magister lain bimbingan beliau. Tetapi, begitulah nasib (dan keuntungan) yang harus kuterima. Akhirnya, pada bulan Juli, semua persyaratan untuk lulus segera kupenuhi. Agar aku tak lagi menjadi beban, baik untukku sendiri, untuk dosen-dosenku, dan terutama untuk orangtuaku.

follow me @qhimahatthoyyib

Minggu, November 01, 2020

SKETSA PANDEMI-Bagian 1

 

Hi everyone~ mohon maaf ya, sudah setahun lebih tidak update tulisan. Sahabat, tahun ini adalah tahun yang mengejutkan bagiku. Pada dua bulan terakhir tahun 2020 ini, aku ingin sedikit mengisahkan beberapa hal yang terjadi padaku. Kisah-kisah berikut mungkin hanya sekedar curhat, tetapi semoga sahabat sekalian masih dapat mengambil hikmah dari apa yang kutuliskan. Lembar ini adalah kisah pertama yang ingin kusampaikan.

Sudah dua tahun berlalu sejak terakhir kali aku menjalani operasi telinga-CWD. Alhamdulillah semakin hari kondisiku semakin membaik. Meskipun sebagian pendengaranku tak dapat berfungsi seperti semula, syukur anggota tubuh lainnya tetap bekerja dengan baik. Sebisa mungkin aku tidak berhenti untuk beraktifitas, walaupun sudah tidak banyak keluar rumah. Selain itu, mengonsumi obat selama sekitar hampir dua tahun tanpa henti sepertinya sangat mempengaruhi keadaan dan kebiasaanku, misalnya lebih sering ngantuk atau jadi malas makan. Ya, tapi mungkin juga itu hanya sekedar perasaan.

Sejak tahun lalu, aku memang sudah sangat jarang keluar rumah. Hanya pergi ke kampus untuk menghadiri kuliah atau menyelesaikan penelitian tesis di laboratorium sebagai syarat lulus magister. Kadang juga keluar untuk menghadiri kajian atau belanja keperluan. Tidak ada pergi main, tamasya, dan sejenisnya. Meski demikian, penelitian tak kunjung menunjukkan hasil yang kuinginkan. Frustasi? Sudah jelas. Bahkan berpekan-pekan lamanya aku absen ke kampus karena tiba-tiba mual, pusing dan demam setiap akan berangkat nge-lab. Semua itu kuceritakan kepada dosen pembimbing dan orangtuaku untuk menghindari masalah. Sejujurnya, sebelum hal itu terjadi, aku sudah berencana mengajukan cuti satu semester agar dapat beristirahat dengan baik, namun dosen waliku berhasil membujukku untuk terus menyelesaikan kuliah tanpa cuti. Beliau menceritakan pengalamannya dan beberapa mahasiswanya yang berhasil melewati masa sulitnya dengan terus berkuliah tanpa cuti.

Berangkat dengan tenang, tetap bersantai di dalam ruang diskusi lab meskipun merasa tidak baik dan tidak bekerja, mengurangi beban pikiran, fokus pada penelitian sendiri, tidak terpengaruh progres orang lain yang lebih melejit dan hanya melakukan hal yang perlu diselesaikan hari itu adalah beberapa terapi yang disarankan dosen pembimbingku. Alhamdulillah, perlahan-lahan penelitanku berprogres meskipun belum dapat diketahui kapan ujungnya akan muncul. Setidaknya, kurasa, aku dapat melewati masa kritis ini meski masih harus menambah semester. Sampai suatu saat, januari 2020, berita kejadian di Wuhan, China tersebar di Indonesia yang ternyata akan mengubah nasibku.

follow me @qhimahatthoyyib