Salah satu
hal yang selalu membuat manusia penasaran adalah Takdir. Dengan siapa kita
dipertemukan? Dengan siapa kita dinikahkan? Di mana kita disekolahkan? Di mana
kita dipekerjakan? Dan segala hal tentang rejeki apa yang akan Dia berikan? Hingga
suatu saat kita tahu jawabannya, kita tahu maksudnya mengapa dulu hal ini tidak
dan itu dikabulkan, atau sebaliknya hal itu tidak dan ini diiyakan. Meskipun kita
berhak memilih jalan kita sendiri, tetapi hanya Dia yang memberi restu dan persetujuan.
Satu kisah
lucu ini terjadi lima belas tahun lalu.
Setelah
dua setengah tahun bersekolah di salah satu madrasah dasar di Tanggulangin,
Sidoarjo, akhirnya aku diijinkan mengikuti ujian nasional (UN) yang hasilnya
akan menentukan kelulusanku. Selain UN, hal lain yang menjadi persoalan bagi
siswa-siswi kelas 6 MI adalah kelanjutan sekolah ke tingkat menengah. Tak terkecuali
aku. Namun sebenarnya, orangtua telah memberiku penjelasan bahwa aku akan
melanjutkan sekolah di pondok pesantren. Jadi aku tak perlu khawatir tentang
hal itu.
Sejak
dulu, aku tak pernah komplain tentang sekolah. Dipondokkan oke, tidak pun juga
tak masalah. Tetapi, satu hal yang tak pernah kualami sejak tingkat SD hingga SMA
adalah bersekolah di sekolah umum negeri. Selama sembilan tahun, aku tak pernah
punya kawan selain beragama Islam. Karena sejak awal, aku merasa nyaman dengan
hal itu. Saat pindah dari Surabaya ke Sidoarjo pun demikian, aku minta
disekolahkan di MI daripada SDN. Beruntung, orangtuaku menemukan satu-satunya
MI di desa sebelah, tetangga terdekat dari perumahan tempat tinggalku. Tak kusangka,
di madrasah itu, aku bertemu seorang kawan sekelas dari perumahan yang sama
denganku (meski beda blok). Saat pertama kali aku masuk, yaitu kelas 4 semester
dua, hanya ada kami bertiga (aku, adekku, dan seorang kawan itu) yang berasal
dari perumahan di antara seluruh siswa-siswi satu madrasah. Namun tahun
berikutnya, saat aku kelas 5 dan 6, akhirnya ada tiga kawan baru (yang
kebetulan adalah teman sekelasku) dari perumahan itu.
Tetiba suatu
hari, orangtua memintaku untuk mengikuti tes masuk salah satu SMPN kecamatan
sebelah, yang perjalanannya masih dapat kutempuh dengan sepeda ontel. Untuk uji
coba katanya, untuk mengukur kemampuanku. Walhasil, Qodarullah, aku tak lolos,
namaku tak ada di papan pengumuman penerimaan. Entah apakah aku benar akan
disekolahkan di sana dan tak jadi dipondokkan jika diterima di SMPN itu, atau
itu benar hanya untuk uji coba. Selang beberapa waktu setelah tes, masa lulus
MI pun tiba. Akhirnya, aku dipondokkan di salah satu ponpes di Surabaya. Selulus
dari ponpes itu, Alhamdulillah, aku adalah satu dari empat teman seangkatan
yang diterima dan diberi beasiswa oleh MAN Insan Cendekia Serpong.
Ya, itu
adalah salah satu takdir lucu yang terjadi padaku. Tak diterima di sekolah yang
menurut kita terbaik bukan berarti kita tak pantas mendapatkan hal yang baik. Allah
akan memberikannya tepat waktu, bahkan menggantinya dengan suatu hal yang lebih
baik. It’s surprise, dan kita tak pernah tahu kapan hal itu terjadi. Tetapi kita harus mengusahakan yang terbaik untuk meminta Allah memberi kita takdir yang baik. Wallahu a’lam.
follow me @qhimahatthoyyib