Sabtu, November 21, 2020

Menapaki Kelucuan Takdir


                Salah satu hal yang selalu membuat manusia penasaran adalah Takdir. Dengan siapa kita dipertemukan? Dengan siapa kita dinikahkan? Di mana kita disekolahkan? Di mana kita dipekerjakan? Dan segala hal tentang rejeki apa yang akan Dia berikan? Hingga suatu saat kita tahu jawabannya, kita tahu maksudnya mengapa dulu hal ini tidak dan itu dikabulkan, atau sebaliknya hal itu tidak dan ini diiyakan. Meskipun kita berhak memilih jalan kita sendiri, tetapi hanya Dia yang memberi restu dan persetujuan.

                Satu kisah lucu ini terjadi lima belas tahun lalu.

                Setelah dua setengah tahun bersekolah di salah satu madrasah dasar di Tanggulangin, Sidoarjo, akhirnya aku diijinkan mengikuti ujian nasional (UN) yang hasilnya akan menentukan kelulusanku. Selain UN, hal lain yang menjadi persoalan bagi siswa-siswi kelas 6 MI adalah kelanjutan sekolah ke tingkat menengah. Tak terkecuali aku. Namun sebenarnya, orangtua telah memberiku penjelasan bahwa aku akan melanjutkan sekolah di pondok pesantren. Jadi aku tak perlu khawatir tentang hal itu.

                Sejak dulu, aku tak pernah komplain tentang sekolah. Dipondokkan oke, tidak pun juga tak masalah. Tetapi, satu hal yang tak pernah kualami sejak tingkat SD hingga SMA adalah bersekolah di sekolah umum negeri. Selama sembilan tahun, aku tak pernah punya kawan selain beragama Islam. Karena sejak awal, aku merasa nyaman dengan hal itu. Saat pindah dari Surabaya ke Sidoarjo pun demikian, aku minta disekolahkan di MI daripada SDN. Beruntung, orangtuaku menemukan satu-satunya MI di desa sebelah, tetangga terdekat dari perumahan tempat tinggalku. Tak kusangka, di madrasah itu, aku bertemu seorang kawan sekelas dari perumahan yang sama denganku (meski beda blok). Saat pertama kali aku masuk, yaitu kelas 4 semester dua, hanya ada kami bertiga (aku, adekku, dan seorang kawan itu) yang berasal dari perumahan di antara seluruh siswa-siswi satu madrasah. Namun tahun berikutnya, saat aku kelas 5 dan 6, akhirnya ada tiga kawan baru (yang kebetulan adalah teman sekelasku) dari perumahan itu.

                Tetiba suatu hari, orangtua memintaku untuk mengikuti tes masuk salah satu SMPN kecamatan sebelah, yang perjalanannya masih dapat kutempuh dengan sepeda ontel. Untuk uji coba katanya, untuk mengukur kemampuanku. Walhasil, Qodarullah, aku tak lolos, namaku tak ada di papan pengumuman penerimaan. Entah apakah aku benar akan disekolahkan di sana dan tak jadi dipondokkan jika diterima di SMPN itu, atau itu benar hanya untuk uji coba. Selang beberapa waktu setelah tes, masa lulus MI pun tiba. Akhirnya, aku dipondokkan di salah satu ponpes di Surabaya. Selulus dari ponpes itu, Alhamdulillah, aku adalah satu dari empat teman seangkatan yang diterima dan diberi beasiswa oleh MAN Insan Cendekia Serpong.

                Ya, itu adalah salah satu takdir lucu yang terjadi padaku. Tak diterima di sekolah yang menurut kita terbaik bukan berarti kita tak pantas mendapatkan hal yang baik. Allah akan memberikannya tepat waktu, bahkan menggantinya dengan suatu hal yang lebih baik. It’s surprise, dan kita tak pernah tahu kapan hal itu terjadi. Tetapi kita harus mengusahakan yang terbaik untuk meminta Allah memberi kita takdir yang baik. Wallahu a’lam.

follow me @qhimahatthoyyib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar