Alhamdulillah,
ini adalah tulisan bebas ke-101 (di luar tulisan bulan Romadhon ’36 dan ‘37 H serta
tulisan tentang Keluarga Harmoni) setelah sepuluh tahun aku menulis di blog
ini. Meskipun tidak rutin, tak pula banyak pembaca, aku bersyukur masih bisa
dengan bebas menuliskan banyak hal dan memberikan manfaat untuk sahabat pembaca.
Tentangku, tentang keluargaku, tentang ilmuku dan tentang semua yang ada di
pikiranku. Ya.. mudah-mudahan gak akan kena UU ITE yang menjebak itu sih. Hmm,
parah sih emang, belum lama dibuat aja udah menimbulkan banyak kegaduhan. Banyak
pasal karet katanya. Saat itu, sudah jelas banyak masyarakat termasuk kaum
terpelajar menolak RUU itu. Tapi yaa, tetap aja tuh disahkan oleh yang
berwenang.
Belum lama
ini juga, lagi-lagi DPR (Dewan Perwakilan Rakyat ‘katanya’) dan pemerintah membuat
keributan dengan masyarakat. Mereka telah mengesahkan Omnibus Law, kumpulan
berbagai UU, termasuk di dalamnya adalah UU Cipta Kerja. UU itu mengkhawatirkan
banyak pihak, mulai dari pekerja, pengusaha hingga investor. Namun, seperti
kita ketahui, endingnya tetap saja RUU itu disahkan menjadi UU. Lucunya,
jumlah halaman dan isi dari UU tersebut berubah-ubah setelah disahkan. Bukannya
menyelesaikan masalah pandemi, pemerintah malah membuat masalah baru. Atau jangan-jangan
memang sengaja untuk mengalihkan perhatian? Yaahh.. who knows~
Pandemi,
ternyata tidak banyak mengubah perilaku manusia, termasuk masyarakat Indonesia.
Setelah satu semester menjalani kehidupan yang lumayan ketat dan membosankan,
orang-orang kembali menjalani kehidupannya dengan bebas seolah masa pandemi
telah berakhir. Banyak alasan yang memang tak dapat disalahkan. Kondisi keuangan
misalnya, rindu berkumpul dengan keluarga, ingin jalan-jalan bersama dengan kesayangan,
atau sekedar iri dengan negara yang telah berhasil menekan penyebaran si virus.
Meskipun demikian, kita terus berdoa agar Allah selalu menjaga negeri ini dan
meridhoi kebaikan yang kita niatkan dan kita perbuat.
Allah selalu
memberikan kemudahan di tengah kesulitan yang terjadi. Ia selalu menepai janji.
Tiga setengah
tahun adalah jangka waktu abnormal untuk menyelesaikan studi magister. Studi itu
harusnya selesai dalam waktu singkat, hanya 1,5 atau 2 tahun saja. Namun,
kondisi yang tak biasa terjadi padaku. Seperti kukisahkan pada lembar-lembar
sebelumnya. Di tengah perjalanan, tentu saja ada sepercik rasa ingin menyerah. Penyakit
yang muncul, penelitian yang tak kunjung selesai, biaya belajar yang tak murah
adalah sebagian sebab munculnya perasaan itu. Namun tentu saja, lebih banyak
sebab lain yang memicuku untuk melanjutkan dan menyelesaikan amanah ini hingga
akhir. Perlukah kutuliskan? Mungkin enggak ya, karena terlalu emosional dan
mungkin sebagian sahabat yang mengalami ujian serupa sudah mengetahui alasannya
hhe~ Ya, semoga Allah selalu memberi kita kekuatan untuk menyelesaikan
persoalan duniawi yang sangat kecil ini.
follow me @qhimahatthoyyib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar