Kamis, Agustus 09, 2018

RUMAH SAKIT BERCERITA #3



                Sahabat, bagaimana kabarnya siang ini? Apakah ada sahabat pembaca yang sdang berada di Lombok? Atau memiliki saudara dekat dan teman di Lombok? Dengan segenap hati, saya turut berduka cita dan turut berdoa untuk saudara-saudara sekalian di Lombok. Semoga Allah memberikan kesabaran dan kelapangan hati untuk menerima ujian dari alam. Perbanyak ibadah, berdzikir dan berdo’a karena hanya Allah lah yang dapat menolong kita dalam berbagai kondisi.
                Baik, insyaAllah pada tulisan kali ini saya akan berkisah tentang hal yang saya janjikan pada tulisan sebelumnya. Yaitu tentang keseringan saya menghindari percakapan dengan orang yang belum kenal. Sahabat, berkomunikasi, berbicara dan bertukar pikiran dengan orang lain adalah suatu hal yang wajar kita lakukan sebagai manusia bertitel makhluk sosial. Artinya kita membutuhkan orang lain dalam kehidupan kita. Berbagai macam jenis orang selain diri kita yaitu bisa dikategorikan sebagai keluarga, teman, kolega, rekan kerja, guru dan orang asing (yaitu sebutan untuk orang yang tidak kita kenal). Hal ini menyebabkan tingkat kebutuhan dan cara bersikap kita pada tiap kategori tersebut menjadi berbeda. Terkadang bergantung juga kepada ‘kepentingan’. Termasuk bagi orang-orang seperti saya yang memiliki sifat melakonlis-plegmatis akan sangat berbeda sikapnya antara keluarga, teman dan kolega serta orang asing.
                Pada umumnya seseorang akan bersikap hangat dan baik pada orang-orang yang dikenalnya, dan bersikap waspada, bahkan jutek pada orang yang tidak dikenalnya. Tetapi beda halnya jika kita bekerja sebagai public figure, atau mengabdi untuk masyarakat dan pelayan fasilitas umum seperti dokter, guru, customer service, pramugari, dan lain sebagainya. Orang-orang yang demikian harus mengacuhkan kondisi hatinya karena dituntut bersikap ramah pada orang lain. Sebenarnya sikap yang demikian itu sangat patut kita contoh. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa senyum dan keceriaan akan memberikan energi positif pada diri kita serta akan berpengaruh pada orang lain di sekitar kita. Tetapi tidak banyak orang yang dapat bersikap demikian. Hanya saja, terkadang ada beberapa orang yang sebenarnya berniat baik dengan mencoba bersikap ramah pada orang asing namun berakibat buruk pada lawan bicaranya tersebut.
                Siang itu, seperti biasa aku kembali ke unit farmasi untuk menunggu panggilan obat setelah melaksanakan sholat dhuhr berjamaah di Masjid RS (Rumah Sakit). Seperti biasa pula, perutku sudah keroncongan karena memang setelahh berpuasa Romadhon ini aku kembali minum obat yang diharuskan untuk makan terlebih dahulu. Maka pada siang hari, perutku pun sudah terbiasa mendapatkan asupan. Sehingga siang itu, aku mencari tempat duduk untuk makan sebungkus nasi—yang sebelumnya telah kubeli di kantin—sembari menunggu panggilan. Setelah selesai makan, aku mengeluarkan botol minum dari tas. Tiba-tiba seorang ibu mungkin sekitar usia pertengahan 50 tahun berkata padakau dalam bahasa jawa, “gak kurang gede a mba botole?”. Sejenak aku kaget mendengar ucapan ibu itu, karena tak ada obrolan yang kami lakukan sama sekali sebelumnya. Ibu itu sudah berada di kursi itu sebelum aku datang. Kemudian aku duduk di kursi kosong sebelahnya lalu menikmati makananku. Kutanggapi pertanyaan itu dengan jawaban, “sak menten niki takseh kurang bu, ini saja sudah mau habis.” Kukira dengan jawaban begitu beliau akan diam. Ternyata dugaanku salah, beliau terus melanjutkan pertanyaannya kemudian hanya kujawab singkat karena aku merasa tak nyaman dengan obrolan itu. Beberapa menit kemudian hening, karena aku menghilangkan kebosanan dengan buku bacaan yang sudah kusiapkan. Pada menit selanjutnya, ibu itu masih mencoba mengajakku berbicara dengan tema lain. Beliau sedikit lebih ramah dari sebelumnya, mungkin merasa bersalah atau kaget dan tidak menyangka terhadap jawaban dan reaksiku.
                Bagi sahabat yang tidak paham bahasa jawa, jadi begini intinya. Saat kukeluarkan botol minumku yang berukuran 1 L, ibu tersebut bertanya dengan nada menyindir, menyinyir yang mungkin maksudnya adalah bercanda yaitu botolku itu apa tidak kurang besar untuk dibawa. Padahal menurutku pada jaman sekarang ini membawa botol minum ukuran besar merupakan hal yang sudah biasa dilakukan masyarakat, terlebih di rumah sakit atau bagi seseorang yang harus keluar rumah seharian untuk pergi ke berbagai tempat. Meski sempat kaget dengan pertanyaan tiba-tiba tersebut, aku mencoba mengendalikan emosiku dengan memilih jawaban ringan yang dapat mematikan pertanyaan tersebut. Aku menyatakan bahwa air sejumlah itu masih kurang untukku, sambil kutunjukkan isi botol yang hanya tersisa seperenam tinggi botol.
                Sahabat, itulah mengapa aku seringkali diam saat duduk menunggu antrian di tempat fasilitas umum. Bukan karena tidak suka bicara atau bertukar sapa dan pikiran dengan orang lain tetapi untuk menjaga hati dan perasaan dari orang-orang yang belum kita kenal. Terkadang atau bahkan seringkali ucapan yang keluar dari mulut kita dapat melukai hati orang tersebut. Atau sebaliknya, kita yang sakit hati dibuatnya. Terlebih di tempat seperti itu, kita hanya bertemu dengan mereka mungkin sekali seumur hidup. Jika demikian, bagaimana kita harus meminta maaf setelah tanpa sadar kita menyakiti hatinya? Bukankah kesalahan pada sesama manusia hanya bisa ditebus dengan meminta maaf pada yang bersangkutan? Lain halnya jika kita bersalah kepada Allah, maka kita dapat perbanyak istighfar dan bertaubat kepada-Nya.
                Demikian sahabat yang bisa saya ceritakan siang ini. Semoga dapat memberikan manfaat bagi sahabat pembaca semua dimanapun berada. Serta, kita harus selalu berpikir matang terlebih dahulu sebelum bertindak, baik secara lisan maupun gerakan. Mudah-mudahan kita dapat terhindar dari kesalahan lidah yang tidak bertulang. Amiin~

follow me @qhimahatthoyyib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar