Sahabat,
bagaimana kabarnya siang ini? Apakah ada sahabat pembaca yang sdang berada di
Lombok? Atau memiliki saudara dekat dan teman di Lombok? Dengan segenap hati,
saya turut berduka cita dan turut berdoa untuk saudara-saudara sekalian di
Lombok. Semoga Allah memberikan kesabaran dan kelapangan hati untuk menerima
ujian dari alam. Perbanyak ibadah, berdzikir dan berdo’a karena hanya Allah lah
yang dapat menolong kita dalam berbagai kondisi.
Baik,
insyaAllah pada tulisan kali ini saya akan berkisah tentang hal yang saya
janjikan pada tulisan sebelumnya. Yaitu tentang keseringan saya menghindari percakapan
dengan orang yang belum kenal. Sahabat, berkomunikasi, berbicara dan bertukar
pikiran dengan orang lain adalah suatu hal yang wajar kita lakukan sebagai
manusia bertitel makhluk sosial. Artinya kita membutuhkan orang lain dalam
kehidupan kita. Berbagai macam jenis orang selain diri kita yaitu bisa
dikategorikan sebagai keluarga, teman, kolega, rekan kerja, guru dan orang
asing (yaitu sebutan untuk orang yang tidak kita kenal). Hal ini menyebabkan
tingkat kebutuhan dan cara bersikap kita pada tiap kategori tersebut menjadi
berbeda. Terkadang bergantung juga kepada ‘kepentingan’. Termasuk bagi
orang-orang seperti saya yang memiliki sifat melakonlis-plegmatis akan sangat
berbeda sikapnya antara keluarga, teman dan kolega serta orang asing.
Pada
umumnya seseorang akan bersikap hangat dan baik pada orang-orang yang
dikenalnya, dan bersikap waspada, bahkan jutek pada orang yang tidak
dikenalnya. Tetapi beda halnya jika kita bekerja sebagai public figure,
atau mengabdi untuk masyarakat dan pelayan fasilitas umum seperti dokter, guru,
customer service, pramugari, dan lain sebagainya. Orang-orang yang
demikian harus mengacuhkan kondisi hatinya karena dituntut bersikap ramah pada
orang lain. Sebenarnya sikap yang demikian itu sangat patut kita contoh. Banyak
penelitian yang menyebutkan bahwa senyum dan keceriaan akan memberikan energi
positif pada diri kita serta akan berpengaruh pada orang lain di sekitar kita. Tetapi
tidak banyak orang yang dapat bersikap demikian. Hanya saja, terkadang ada
beberapa orang yang sebenarnya berniat baik dengan mencoba bersikap ramah pada
orang asing namun berakibat buruk pada lawan bicaranya tersebut.
Siang
itu, seperti biasa aku kembali ke unit farmasi untuk menunggu panggilan obat
setelah melaksanakan sholat dhuhr berjamaah di Masjid RS (Rumah Sakit). Seperti
biasa pula, perutku sudah keroncongan karena memang setelahh berpuasa Romadhon
ini aku kembali minum obat yang diharuskan untuk makan terlebih dahulu. Maka pada
siang hari, perutku pun sudah terbiasa mendapatkan asupan. Sehingga siang itu,
aku mencari tempat duduk untuk makan sebungkus nasi—yang sebelumnya telah
kubeli di kantin—sembari menunggu panggilan. Setelah selesai makan, aku
mengeluarkan botol minum dari tas. Tiba-tiba seorang ibu mungkin sekitar usia pertengahan
50 tahun berkata padakau dalam bahasa jawa, “gak kurang gede a mba botole?”.
Sejenak aku kaget mendengar ucapan ibu itu, karena tak ada obrolan yang kami
lakukan sama sekali sebelumnya. Ibu itu sudah berada di kursi itu sebelum aku
datang. Kemudian aku duduk di kursi kosong sebelahnya lalu menikmati makananku.
Kutanggapi pertanyaan itu dengan jawaban, “sak menten niki takseh kurang bu,
ini saja sudah mau habis.” Kukira dengan jawaban begitu beliau akan diam. Ternyata
dugaanku salah, beliau terus melanjutkan pertanyaannya kemudian hanya kujawab
singkat karena aku merasa tak nyaman dengan obrolan itu. Beberapa menit
kemudian hening, karena aku menghilangkan kebosanan dengan buku bacaan yang
sudah kusiapkan. Pada menit selanjutnya, ibu itu masih mencoba mengajakku
berbicara dengan tema lain. Beliau sedikit lebih ramah dari sebelumnya, mungkin
merasa bersalah atau kaget dan tidak menyangka terhadap jawaban dan reaksiku.
Bagi
sahabat yang tidak paham bahasa jawa, jadi begini intinya. Saat kukeluarkan
botol minumku yang berukuran 1 L, ibu tersebut bertanya dengan nada menyindir,
menyinyir yang mungkin maksudnya adalah bercanda yaitu botolku itu apa tidak kurang
besar untuk dibawa. Padahal menurutku pada jaman sekarang ini membawa botol
minum ukuran besar merupakan hal yang sudah biasa dilakukan masyarakat, terlebih
di rumah sakit atau bagi seseorang yang harus keluar rumah seharian untuk pergi
ke berbagai tempat. Meski sempat kaget dengan pertanyaan tiba-tiba tersebut,
aku mencoba mengendalikan emosiku dengan memilih jawaban ringan yang dapat
mematikan pertanyaan tersebut. Aku menyatakan bahwa air sejumlah itu masih
kurang untukku, sambil kutunjukkan isi botol yang hanya tersisa seperenam tinggi
botol.
Sahabat,
itulah mengapa aku seringkali diam saat duduk menunggu antrian di tempat
fasilitas umum. Bukan karena tidak suka bicara atau bertukar sapa dan pikiran
dengan orang lain tetapi untuk menjaga hati dan perasaan dari orang-orang yang
belum kita kenal. Terkadang atau bahkan seringkali ucapan yang keluar dari
mulut kita dapat melukai hati orang tersebut. Atau sebaliknya, kita yang sakit
hati dibuatnya. Terlebih di tempat seperti itu, kita hanya bertemu dengan
mereka mungkin sekali seumur hidup. Jika demikian, bagaimana kita harus meminta
maaf setelah tanpa sadar kita menyakiti hatinya? Bukankah kesalahan pada sesama
manusia hanya bisa ditebus dengan meminta maaf pada yang bersangkutan? Lain halnya
jika kita bersalah kepada Allah, maka kita dapat perbanyak istighfar dan
bertaubat kepada-Nya.
Demikian
sahabat yang bisa saya ceritakan siang ini. Semoga dapat memberikan manfaat
bagi sahabat pembaca semua dimanapun berada. Serta, kita harus selalu berpikir
matang terlebih dahulu sebelum bertindak, baik secara lisan maupun gerakan. Mudah-mudahan
kita dapat terhindar dari kesalahan lidah yang tidak bertulang. Amiin~
follow me @qhimahatthoyyib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar