Rabu, Agustus 29, 2018

SELINGAN 3 : Kasih Sayang Itu Bernama Surga



                Tulisan ini sebenarnya cocok masuk dalam tema Rumah Sakit Bercerita, tetapi karena sedikit ada perbedaan isi maka kuputuskan untuk masuk dalam tema Selingan. Tenang saja, masih banyak kisah yang dapat diambil hikmah dari pengalamanku selama 2 tahun berobat di rumah sakit. Namun, kali ini aku akan bercerita tentang drama yang kualami pada beberapa pekan sebelum masuk waktu perkuliahan. Kisah ini terjadi beberapa hari sebelum tulisan Rumah Sakit Bercerita #4 rilis. Pada tulisan tersebut, aku sempat menyebutkan pada paragraf pertama bahwa aku gagal mengambil cuti yang selama ini sudah kupikirkan dan kurencanakan matang-matang. Berikut kisah dibalik mengapa aku tak jadi ambil cuti kuliah pada semester akhir masterku ini.
                Pagi itu setelah aku membulatkan tekad untuk mengambil cuti setelah beberapa bulan berkontemplasi dengan diri sendiri, maka aku segera berangkat ke kampus untuk mengurus berkas-berkasnya. Setelah mengambil berkas dan lain sebagainya, hal yang tersisa adalah meminta ijin pada dosen wali untuk mendapatkan tanda tangan beliau. Maka besoknya aku kembali ke kampus untuk menemui beliau. Setelah beberapa jam bercerita tentang sakitku dan sebagainya, sembari sesekali aku menangis, kadang juga diselingi tawa, saran yang beliau berikan adalah ’tidak perlu ambil cuti dan jalani saja semampunya’. Beliau juga menambahkan, “cerita saja pada kawan-kawan jika ada kesulitan, pasti mereka akan bantu. Nanti ibu juga akan bantu bilangkan”. “kawan-kawan sudah saya beritahu bu”, jawabku. “ya bagus kalau gitu, bagaimana mereka baik-baik kan pasti mau membantu”, balas beliau.
                Iya, beliau tidak memberikan ijin padaku untuk mengambil cuti, itu kesimpulan yang kuambil. Meski aku benar-benar memahami bahwa sebenarnya yang diberikan oleh beliau adalah saran, tetapi saran tersebut berperan penting dalam pengambilan keputusanku. Sehingga beberapa saat setelah pertemuan itu terjadi, aku meragukan lagi keputusanku untuk cuti. Aku berkontemplasi lagi selama beberapa hari, memohon petunjuk dan memohon kekuatan kepada sang Maha Kuasa. Hal apa yang paling baik untukku menurut-Nya. Hingga pada suatu pagi, keajaiban itu terjadi. Allah memberi sinyal itu padaku, dan aku rasa itulah jawaban atas pertanyaan yang beberapa hari ini telah kuajukan pada-Nya. Begini kisahnya:
                Pagi itu, aku yang tidak biasa menonton televisi baik acara kajian, berita, maupun show lainnya tiba-tiba ingin saja menyalakan televisi. Saat itu aku tinggal sendirian di rumah, karena sepekan sebelumnya kedua orangtuaku telah berada di Masjidil Haram untuk menunaikan ibadah haji. Sementara adek-adekku sedang hijrah ke tempat lain untuk menempuh pendidikan. Maka dari itu, untuk mengusir kesunyian di rumah terkadang kubiarkan televisi menyala sambil melakukan kegiatan lainnya. Bukankah ini hal yang biasa dilakukan oleh ibu rumah tangga dan pembantu rumah tangga saat ditinggal oleh suaminya bekerja dan anak-anaknya sekolah.
                Beberapa menit setelah mengganti-ganti channel, aku terhenti pada suatu tayangan kajian pagi. Kajian dengan tema wanita-wanita sholehah penghuni surga. Ustadz menjelaskan ciri-ciri dan hal-hal yang harus dilakukan oleh wanita untuk mendapatkan surga. Sampai tiba sesi pertanyaan, ustadz menjawab pertanyaan tersebut dengan hadits yang mengisahkan seorang wanita berpenyakit ayan. Begini arti dari hadits tersebut:

dari Atha bin Abi Rabah, ia berkata, Ibnu Abbas berkata padaku:
“Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?”
Aku menjawab, “Ya”
Ia berkata, “Wanita hitam itulah yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Aku menderita penyakit ayan (epilepsi) dan auratku tersingkap (saat penyakitku kambuh). Doakanlah untukku agar Allah Menyembuhkannya.’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Jika engkau mau, engkau bersabar dan bagimu surga, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu agar Allah Menyembuhkanmu.’
Wanita itu menjawab, ‘Aku pilih bersabar.’ Lalu ia melanjutkan perkataannya, ‘Tatkala penyakit ayan menimpaku, auratku terbuka, doakanlah agar auratku tidak tersingkap.’
Maka Nabi pun mendoakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tayangan itu, terutama hadits yang disebutkan oleh sang ustadz seketika membuatku tersadar dari lamunan dan terbangun dari mimpi. Bayang-bayang yang selama ini memenuhi pikiranku akhirnya sirna. Aku telah lupa bahwa ada sejarah selain kisah Nabi Ayyub, kisah seorang yang bersabar menghadapi penyakitnya. Kisah yang lebih dekat, kisah yang lebih realistis untuk disandingkan dengan apa yang kualami saat ini. Jadi, bersabarlah dan bagimu surga.
Kawan, Allah punya jawaban dan solusi atas segala pertanyaan dan permasalahan. Apa yang sedang kau alami saat ini, adalah kejadian berulang yang telah tertulis dalam sejarah. Maka dari itu, selalu dekatkan diri kepada-Nya agar kita selalu diberi petunjuk oleh-Nya. Wallahu a’lam. Mohon maaf atas tulisan yang terlalu panjang.

follow me @qhimahatthoyyib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar