Rabu, September 26, 2018

RUMAH SAKIT BERCERITA #7



                Kebiasaanku mengamati kejadian sekitar sudah sedari usia dini kulakukan. Berawal dari kesukaanku mengamati papan toko, plang nama jalan, spanduk warung, gerak-gerik orang dan sebagainya saat dibonceng motor oleh abi (ayah)ku. Selain itu, aku juga suka berbicara sendiri, berkisah pada kawan khayal yang jika dilihat mirip seperti hosting desease (penyakit nge-MC)nya Leeteuk ssi (Super Junior’s leader). Namun yang kulakukan sebenarnya adalah curhat pada diri sendiri, atau mengutarakan isi hati dan pikiran. Tapi tak ada yang perlu menjadi pendengar. Aku tak tahu apakah selama ini orang tuaku mengetahuinya, sampai saat ini pun rasanya belum pernah aku menanyakannya. Setelah kucari tahu di dunia maya dan menonton berbagai Korean variety show, hal tersebut adalah hal biasa, bukan sebuah penyakit dan memang sebagian orang di dunia ini melakukannya.
                Pagi hari tadi saat melingkar seperti biasa, tadzkiroh (pengingat) yang disampaikan pada kami adalah ‘tindakan merupakan kesimpulan dari aktivitas berpikir setelah mengumpulkan data-data yang lengkap dan benar’. Tadzkiroh tersebut mengingatkanku pada para ilmuwan dengan berbagai tesis praduga mereka. Bahkan saat pertama kali masuk kuliah dulu, hal pertama yang kudengar adalah ‘bahwa ilmuwan boleh salah tetapi tidak boleh berbohong’. Sehingga sedikit banyak aku pasti terbawa arus berpikir ilmuwan setelah cukup lama berkecimpung di dunia ilmu alam. Dengan kebiasaanku yang sudah demikian, ditambah dengan pengetahuan bahwa berpikir adalah kebutuhan mendasar terkadang dapat menyebabkan adanya pemikiran dan kehati-hatian ekstrim pada diriku. Hal itulah yang mungkin menyebabkan sifat INFJ-ku semakin hari semakin kuat.
                Berkaitan dengan aktivitas berpikir yang selanjutnya menghasilkan tindakan, banyak sekali kejadian di RS (rumah sakit) yang kadang tidak dapat kita duga. Contohnya pertama, banyak pengunjung rumah sakit menganggap bahwa semua yang datang ke rumah sakit adalah pasien, dan pasien berhak menggunakan fasilitas pelayanan RS, sehingga mereka duduk di kursi yang telah disediakan saat menunggu antrian. Hal ini menyebabkan tak jarang kursi yang disediakan kurang untuk menampung sekian banyak pengunjung, karena ternyata sebagian besar pengunjung bukanlah pasien alias pengantar saja. Akibatnya sebagian pasien harus mengantri dengan berdiri, duduk di tangga, atau duduk di mana saja asal tidak mengganggu orang (menurut mereka). Jika dipikirkan secara logis, selain pasien seharusnya tak berhak duduk karena mereka adalah orang sehat. Namun, manusia sehat pun juga punya batas lelahnya terutama wanita dan anak-anak. Maka dari itu, sebagian besar orang menganggap hal tersebut sangatlah wajar. Sehingga reaksi orang terhadap kejadian tersebut, dengan cukup data (yang tampak) dapat berbeda-beda.
                Salah satu hal asing yang kudapati saat mengantri di ruang radiologi sebulan yang lalu adalah seorang bapak tentara menyilahkan ibu-ibu paruh baya duduk di kursi yang sebelumnya ditempati oleh bapak tersebut. Padahal menurutku belum tentu si bapak itu lebih kuat fisiknya dibanding si ibu. Tetapi setelah pengamatan seksama dapat disimpulkan si ibu membutuhkan tempat duduk. “Iyalah, siapa yang tidak perlu tempat duduk saat harus mengantri lama? Berdiri lama pasti capek, tapi duduk terlalu lama juga dapat menyebabkan kram.” Padahal selain bapak itu, masih ada lelaki remaja atau gadis-gadis muda yang menurutku lebih kuat fisiknya dibandingkan si bapak. Tetapi mengapa bapak tersebut rela memberikan kursinya untuk orang lain? Tentu saja hal tersebut adalah akibat dari proses berpikir si bapak, atau mungkin saja hal seperti itu sudah menjadi kebiasaannya. Hanya bapak tersebut yang tahu.
                Selain itu, contoh kedua, beberapa orang tua menyimpulkan bahwa anaknya baik-baik saja selama mereka tidak menangis atau selama mereka sedang bermain. Hal ini sering kuamati saat beberapa keluarga mengantri di poli THT tempatku berobat. Berbeda dengan poli lainnya, pasien di poli THT lebih beragam, dari usia anak hingga dewasa dan lanjut usia. Seringkali saat keluarga tersebut membawa anaknya, maka pasien sebenarnya adalah si anak. Tetapi kadang tidak juga, si anak dibawa berobat karena mungkin memang tidak ada yang menjaga jika di rumah. Semakin banyak orang di sekitarku dengan rentang usia beragam, maka semakin banyak pula data yang kudapatkan dari hasil pengamatan.
                Suatu hari, ada dua orang anak (satu lelaki dan satu perempuan) dari dua keluarga mengantri di poli THT. Mereka berada di tempat duduk yang saling berhadapan dengan arah berseberangan. Anak-anak yang sekitar 3 tahun tersebut masing-masing bermain sendiri. Jika dilihat dari satu sudut pandang, mereka memang tampak bermain sendiri. Tetapi aku yang sudah sering menonton The Return of Superman (salah satu variety show dari Korea yang berkisah tentang ayah-anak) dapat menyimpulkan bahwa mereka tertarik bermain bersama satu dengan lainnya. Kesimpulan ini berdasarkan data yang tampak yaitu, saat si anak perempuan bermain dengan sandalnya, tak lama kemudian si anak lelaki juga bermain dengan sandalnya (tentunya setelah mengamati dengan seksama si anak perempuan tersebut). Dan seterusnya demikian, si anak lelaki tersebut menirukan apa yang diperbuat oleh si anak perempuan. Sayangnya, orangtua masing-masing anak tersebut tetap diam bergeming. Karena dengan jarak tempat duduk yang demikian, tidak mungkin dilakukan obrolan antara orang yang tidak dikenal. Maka orangtua pun membiarkan mereka. Orangtua menganggap bahwa anak mereka baik-baik saja, tetapi menurutku tidak. Mereka tertarik satu sama lain, mereka ingin lebih saling mengenal dan bermain bersama dengan legal. Tapi apa daya, tak ada komunikasi yang bisa dijalin dan mereka hanya bermain tanpa obrolan karena bahkan tak saling tahu nama.
                Demikian hasil berpikir hari ini, mudah-mudahan bermanfaat. Semoga saja kita bukan termasuk orang yang bertindak tanpa berpikir. Allah sudah mengatakan dalam al- Qur’an bahwa sangat sedikit orang yang mau berpikir, sangat sedikit orang yang mau menggunakan akalnya. Maka seharusnya kita dapat menjadi bagian dari orang-orang yang sedikit itu. Barokallahu fiik, sampai jumpa di hasil pemikiran selanjutnya, byee~

follow me @qhimahatthoyyib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar