Senin, Februari 18, 2019

Semakin Sabar, Semakin Handal (Part 2)



                Akhirnya setelah delapan tahun, pikiran-pikiran liar yang ada di kepalaku menemukan pasangannya. Akirnya, kata-kata yang kutuliskan pada tahun 2011 lalu berjudul “Semakin Sabar, Semakin Handal” telah menemukan jawabannya. Saat itu, pemikiran yang kutuangkan dalam tulisan tersebut hanya berdasar pada hal-hal yang kuperhatikan dan pengalaman setelah 14 tahun menempuh pendidikan. Kenyataan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan atau semakin bertambah usia, maka semakin besar pula intensitas kesabaran dan kapasitas hati yang diperlukan. Rosulullah SAW bersabda dalam suatu hadits, “Bukanlah orang yang hebat itu adalah orang yang hebat dalam pertempuran, tetapi orang hebat itu adalah orang yang bisa menahan dirinya ketika sedang marah”.
Kemarahan merupakan suatu ekspresi yang ditunjukkan saat seseorang tidak sabar dalam menghadapi suatu ujian. Salah satu wujud ujian adalah mengendarai kendaraan saat peak season atau crowded di jalan. Perkiraanku dalam tulisan itu terbukti saat tahun 2016 aku berlatih mengendarai kendaraan roda empat. Sejak saat itu, aku tahu perasaan sesama pengendara mobil. Semua pertanyaan yang selama ini ada di kepala terjawab sudah setelah aku mengalami sendiri kejadian itu. Misalnya, mengapa pengendara mobil itu bisa pelan dan sabar? Awalnya kukira karena di mobil itu dingin karena ada AC (air conditioner) atau karena ada musik dan radio yang bisa disetel kapan saja. Ternyata tidak, meskipun kedua benda itu tidak berfungsi, pengendara mobil tetaplah harus sabar.
Pikiran-pikiran itu terbukti lagi, saat pekan lalu, pekan pertama Februari 2018, aku dan tim yayasan SDM IPTEK berlibur ke DIY dan Klaten, Jawa Tengah. Entah mengapa tiba-tiba kami membahas pengendara mobil. Si teman yang menyopiri kami tiba-tiba berkisah tentang ayahnya yang dulu sempat bekerja mengendarai truk. Setelah sekian lama mengendarai truk, pada akhirnya beliau sudah tidak berani mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Kebiasaan beliau membawa truk membuatnya menjadi lebih pelan dan lebih sabar dalam berkendara. Kejadian itu mirip dengan apa yang kualami saat ini. Setelah operasi, aku juga tidak berani mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Hingga saat ini ketika aku sudah merasa lebih baik dan sehat, aku pun masih belum berani mengendarainya dengan kecepatan lebih dari 60 km/jam.
Begitulah, seringkali kita perlu menjalani hal yang sama untuk mengerti perasaan orang lain. Rasanya sulit sekali berempati dan bersimpati jika kita tak pernah mengalami hal yang mirip atau serupa dengan orang tersebut. Misalnya, mengutamakan tempat duduk untuk lansia dan wanita hamil. Atau mendahulukan kendaraan di bagian depan dan tidak terburu memencet klakson setelah 1 detik lampu berubah hijau. Atau mendahulukan para penyeberang jalan jika lampu sudah berubah merah untuk pengendara kendaraan bermotor. Atau mengantri dan mengutamakan orang yang datang lebih dahulu. Dan budaya-budaya lain di Indonesia yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, Allah selalu mengingatkan kepada kita untuk terus berada dalam jalan kebaikan. Dengan sikap islami, insyaa Allah apapun yang kita lakukan pastilah hal yang diridhoi oleh Allah SWT. Akhirul kalam, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin~

follow me @qhimahatthoyyib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar