Akhirnya
setelah delapan tahun, pikiran-pikiran liar yang ada di kepalaku menemukan
pasangannya. Akirnya, kata-kata yang kutuliskan pada tahun 2011 lalu berjudul “Semakin Sabar, Semakin Handal” telah menemukan jawabannya. Saat itu, pemikiran yang
kutuangkan dalam tulisan tersebut hanya berdasar pada hal-hal yang kuperhatikan
dan pengalaman setelah 14 tahun menempuh pendidikan. Kenyataan bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan atau semakin bertambah usia, maka semakin besar pula
intensitas kesabaran dan kapasitas hati yang diperlukan. Rosulullah SAW bersabda
dalam suatu hadits, “Bukanlah orang yang hebat itu adalah orang yang hebat
dalam pertempuran, tetapi orang hebat itu adalah orang yang bisa menahan
dirinya ketika sedang marah”.
Kemarahan merupakan
suatu ekspresi yang ditunjukkan saat seseorang tidak sabar dalam menghadapi
suatu ujian. Salah satu wujud ujian adalah mengendarai kendaraan saat peak
season atau crowded di jalan. Perkiraanku dalam tulisan itu terbukti
saat tahun 2016 aku berlatih mengendarai kendaraan roda empat. Sejak saat itu,
aku tahu perasaan sesama pengendara mobil. Semua pertanyaan yang selama ini ada
di kepala terjawab sudah setelah aku mengalami sendiri kejadian itu. Misalnya,
mengapa pengendara mobil itu bisa pelan dan sabar? Awalnya kukira karena di
mobil itu dingin karena ada AC (air conditioner) atau karena ada musik
dan radio yang bisa disetel kapan saja. Ternyata tidak, meskipun kedua benda
itu tidak berfungsi, pengendara mobil tetaplah harus sabar.
Pikiran-pikiran
itu terbukti lagi, saat pekan lalu, pekan pertama Februari 2018, aku dan tim
yayasan SDM IPTEK berlibur ke DIY dan Klaten, Jawa Tengah. Entah mengapa
tiba-tiba kami membahas pengendara mobil. Si teman yang menyopiri kami
tiba-tiba berkisah tentang ayahnya yang dulu sempat bekerja mengendarai truk. Setelah
sekian lama mengendarai truk, pada akhirnya beliau sudah tidak berani
mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Kebiasaan beliau membawa truk
membuatnya menjadi lebih pelan dan lebih sabar dalam berkendara. Kejadian itu
mirip dengan apa yang kualami saat ini. Setelah operasi, aku juga tidak berani
mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Hingga saat ini ketika aku sudah
merasa lebih baik dan sehat, aku pun masih belum berani mengendarainya dengan
kecepatan lebih dari 60 km/jam.
Begitulah, seringkali
kita perlu menjalani hal yang sama untuk mengerti perasaan orang lain. Rasanya sulit
sekali berempati dan bersimpati jika kita tak pernah mengalami hal yang mirip
atau serupa dengan orang tersebut. Misalnya, mengutamakan tempat duduk untuk lansia
dan wanita hamil. Atau mendahulukan kendaraan di bagian depan dan tidak terburu
memencet klakson setelah 1 detik lampu berubah hijau. Atau mendahulukan para penyeberang
jalan jika lampu sudah berubah merah untuk pengendara kendaraan bermotor. Atau mengantri
dan mengutamakan orang yang datang lebih dahulu. Dan budaya-budaya lain di
Indonesia yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, Allah selalu mengingatkan
kepada kita untuk terus berada dalam jalan kebaikan. Dengan sikap islami, insyaa
Allah apapun yang kita lakukan pastilah hal yang diridhoi oleh Allah SWT. Akhirul
kalam, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin~
follow me @qhimahatthoyyib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar