Assalamu’alaikum..
Sahabat
senja, pada akhirnya saya harus membahas sesuatu yang sangat tidak saya suka. Mengenai
sebuah kata yang kini banyak menjadi berita, kata yang dapat menjadi bencana,
kata yang dapat menjadi fitnah bahkan juga dapat menjadi kebahagiaan dan
ketentraman tentunya tidak pada waktu yang bersamaan. Kata itu adalah PACAR. Saya
sangat tidak suka membicarakannya, terkadang saya tidak peduli dengan hal-hal
seperti itu. Namun saat mulai mengemban amanah sebagai ADK (Aktivis Dakwah
Kampus) yang mana sebagian besar orang sangat menghindarinya, sebagian bahkan
tak ada yang memperdulikan atau hampir membencinya, sebagian juga tak menyadari
bahwa mereka seharusnya turut bergabung di dalamnya. Hal ini dapat saya katakan
demikian karena banyak sekali faktor yang mendukungnya. Sahabat, pernah suatu
hari ada percakapan lucu dalam keluarga kecil di rumah orang tua saya mengenai
kata PACAR.
Di ruang tengah,
di depan televisi kecil kami. Aku, adik kecilku, dan umi sibuk dengan agendanya
masing-masing. Aku dan buku MUHAMMAD-ku, adik kecilku dengan lihainya menggelar
selimut dan menata bantal untuk alas tidur ‘mereka berdua’ siang hari, umi
segera meletakkan kepalanya pada bantal yang sudah disiapkan adik setelah
selesai membilas cucian. Tak berapa lama setelah membaca beberapa halaman buku,
kantuk mendatangiku dan berusaha menutup mataku. Akhirnya aku tergeletak di
sebelah umi. Kudekap erat tubuh umi saat aku masih bisa tidur disampingnya
seperti ini menikmati waktu. Ternyata adik kecilku itu belum tidur, ia merasa
suatu hal aneh mengganggunya, bergerak cepat akhirnya ia merebut tubuh umi
dariku, berusaha memonopoli umi dengan tangan kecilnya.
“Tak akan
kubiarkan!” kataku dalam hati, merebut kembali raga umi yang telah dipegang
adikku erat-erat.
“Mba lhoo,
jangan gitu ta mbaaaa, umiiiiikuuuuu” teriak adik kecil itu histeris, membuka
mulutnya lebar-lebar tepat di telingaku.
Tak kuindahkan
ucapannya itu, terus saja kupeluk erat umi tersayangku meski berkali-kali adik
kecil itu berteriak, beberapa kali merengek, sampai akhirnya ia mengeluarkan
jurus terakhir MENANGIS. Sudah jemu, ia tak mungkin lagi bisa digoda seperti
itu lagi jika sudah menangis.
“Mba lhoo, nanti
kan punya anak sendiri..” lanjutnya setelah tangis berhenti menjalari ppinya dan
aku telah menjauhkan tanganku dari raga umi.
Aku tersentak lagi.
Ini sudah kali ketiga kami membicarakan soal ‘itu’ saat kami bertiga berkumpul
seperti kali ini. Diam. Tak ada jawaban. Aku tak mampu menjawab apa-apa, tiap
kali menyentuh topik ini aku hanya bisa diam saja, mendengarkan dengan takzim
apapun yang dikatakan dan ditanyakan adik yang kemudian dijawab oleh umi.
“Mba, pacarnya
mba mana mi? mba kamu sudah pacaran ta?” tanyanya lagi saat semuanya diam, tak
ada jawaban juga dariku.
Aku lebih
tersentak. “Mana tahu dia tentang pacar? Pasti ini ulah teman-temannya bermain
di rumah maupun di sekolah” batinku berbisik. Sungguh, tak mungkin anak kecil
ini tahu kalau tidak dari luar. Di rumah, tak ada pendidikan itu, kami
sekeluarga di rumah tak pernah menyebut kata ‘pacar’, seolah itu memang kata
yang tabu untuk dibicarakan. Tapi bocah kecil ini? Ia terlalu kritis, entah
sifat itu diturunkan oleh abi atau umi aku juga tak tahu. Ia menanyakan banyak
hal, mengerti banyak hal, tak heran jika ia memang lebih cerdas daripada kami bertiga
(aku dan kedua adik pertamaku). Diam. Aku lebih tak peduli lagi soal pertanyaannya itu,
tak ada yang bisa kulontarkan dari lisanku. “Itu tugas umi menjawabnya,
biasanya juga begitu..” seruku dalam hati.
“Mba a’yun gak
pacaran dek, gak boleh, mba a’yun harus sekolah dulu dek..” jawab umi lembut
dan halus. Menghentikan pertanyaan adik kecilku itu. Membuatku juga terdiam
tapi menimbulkan banyak pertanyaan di kepalaku.
![]() |
Keluarga Bahagia, Pacaran Setelah Menikah |
Ia tak meneruskan
pertanyaan itu lagi, malah menceritakan tentang teman sekolahnya yang juga
mengenal kata pacaran itu. Adik kecil itu mungkin belum begitu paham dengan
jarak usia kami. Aku yang dengan kalender hijriah seharusnya sudah menginjak
usia 21 tahun tapi mengaku 19 tahun dengan kalender masehi dan adik kecil itu
berusia 7 tahun. Menurutku, ia tak terlalu mengerti atau tak terlalu peduli? Aku
tak tahu, tapi ia selalu menganggap sudah seharusnya aku punya pasangan. Tapi dengar!
Umi, pada kali ketiganya ini juga mengucapkan jawaban yang sama.. tak boleh
dulu.. memang apa untungnya pacaran? Aku juga tak setuju tapi adik kecil itu
tak tahu apa-apa soal kehidupan remaja dan dewasa. Ia harus diberi pengertian
lebih tentang itu—pengertian yang benar menurut islam, mengawal kegiatan
bermain dan belajarnya, ini utamanya tugas orang tua dan para dewasa yang ada
di rumah atau di sampingnya kala itu.
Sahabat, itu
kisahku. Aku menanti waktu kapan jawaban umi berganti. Menikmati waktu
sendiriku dengan banyak teman, banyak cita-cita dan harapan yang kurancang dan
tekad yang akan kuwujudkan. Sampai nanti bisa kutunjukkan pada umi dan umi
mengganti jawaban pada adikku dengan jawaban “Ya sayang, kau diperbolehkan..”
KARENA RIDHO ORANG TUA ADALAH SEGALANYA, KARENA RIDHO ORANG TUA ADALAH RIDHO ALLAH JUGA ^_^
KARENA RIDHO ORANG TUA ADALAH SEGALANYA, KARENA RIDHO ORANG TUA ADALAH RIDHO ALLAH JUGA ^_^
follow me @qhimahatthoyyib