Jumat, Januari 25, 2013

Tentang Sebuah Kata, PACAR


Assalamu’alaikum..
                Sahabat senja, pada akhirnya saya harus membahas sesuatu yang sangat tidak saya suka. Mengenai sebuah kata yang kini banyak menjadi berita, kata yang dapat menjadi bencana, kata yang dapat menjadi fitnah bahkan juga dapat menjadi kebahagiaan dan ketentraman tentunya tidak pada waktu yang bersamaan. Kata itu adalah PACAR. Saya sangat tidak suka membicarakannya, terkadang saya tidak peduli dengan hal-hal seperti itu. Namun saat mulai mengemban amanah sebagai ADK (Aktivis Dakwah Kampus) yang mana sebagian besar orang sangat menghindarinya, sebagian bahkan tak ada yang memperdulikan atau hampir membencinya, sebagian juga tak menyadari bahwa mereka seharusnya turut bergabung di dalamnya. Hal ini dapat saya katakan demikian karena banyak sekali faktor yang mendukungnya. Sahabat, pernah suatu hari ada percakapan lucu dalam keluarga kecil di rumah orang tua saya mengenai kata PACAR.
Di ruang tengah, di depan televisi kecil kami. Aku, adik kecilku, dan umi sibuk dengan agendanya masing-masing. Aku dan buku MUHAMMAD-ku, adik kecilku dengan lihainya menggelar selimut dan menata bantal untuk alas tidur ‘mereka berdua’ siang hari, umi segera meletakkan kepalanya pada bantal yang sudah disiapkan adik setelah selesai membilas cucian. Tak berapa lama setelah membaca beberapa halaman buku, kantuk mendatangiku dan berusaha menutup mataku. Akhirnya aku tergeletak di sebelah umi. Kudekap erat tubuh umi saat aku masih bisa tidur disampingnya seperti ini menikmati waktu. Ternyata adik kecilku itu belum tidur, ia merasa suatu hal aneh mengganggunya, bergerak cepat akhirnya ia merebut tubuh umi dariku, berusaha memonopoli umi dengan tangan kecilnya.
“Tak akan kubiarkan!” kataku dalam hati, merebut kembali raga umi yang telah dipegang adikku erat-erat.
“Mba lhoo, jangan gitu ta mbaaaa, umiiiiikuuuuu” teriak adik kecil itu histeris, membuka mulutnya lebar-lebar tepat di telingaku.
Tak kuindahkan ucapannya itu, terus saja kupeluk erat umi tersayangku meski berkali-kali adik kecil itu berteriak, beberapa kali merengek, sampai akhirnya ia mengeluarkan jurus terakhir MENANGIS. Sudah jemu, ia tak mungkin lagi bisa digoda seperti itu lagi jika sudah menangis.
“Mba lhoo, nanti kan punya anak sendiri..” lanjutnya setelah tangis berhenti menjalari ppinya dan aku telah menjauhkan tanganku dari raga umi.
Aku tersentak lagi. Ini sudah kali ketiga kami membicarakan soal ‘itu’ saat kami bertiga berkumpul seperti kali ini. Diam. Tak ada jawaban. Aku tak mampu menjawab apa-apa, tiap kali menyentuh topik ini aku hanya bisa diam saja, mendengarkan dengan takzim apapun yang dikatakan dan ditanyakan adik yang kemudian dijawab oleh umi.
“Mba, pacarnya mba mana mi? mba kamu sudah pacaran ta?” tanyanya lagi saat semuanya diam, tak ada jawaban juga dariku.
Aku lebih tersentak. “Mana tahu dia tentang pacar? Pasti ini ulah teman-temannya bermain di rumah maupun di sekolah” batinku berbisik. Sungguh, tak mungkin anak kecil ini tahu kalau tidak dari luar. Di rumah, tak ada pendidikan itu, kami sekeluarga di rumah tak pernah menyebut kata ‘pacar’, seolah itu memang kata yang tabu untuk dibicarakan. Tapi bocah kecil ini? Ia terlalu kritis, entah sifat itu diturunkan oleh abi atau umi aku juga tak tahu. Ia menanyakan banyak hal, mengerti banyak hal, tak heran jika ia memang lebih cerdas daripada kami bertiga (aku dan kedua adik pertamaku). Diam. Aku  lebih tak peduli lagi soal pertanyaannya itu, tak ada yang bisa kulontarkan dari lisanku. “Itu tugas umi menjawabnya, biasanya juga begitu..” seruku dalam hati.
“Mba a’yun gak pacaran dek, gak boleh, mba a’yun harus sekolah dulu dek..” jawab umi lembut dan halus. Menghentikan pertanyaan adik kecilku itu. Membuatku juga terdiam tapi menimbulkan banyak pertanyaan di kepalaku.
Keluarga Bahagia, Pacaran Setelah Menikah
Ia tak meneruskan pertanyaan itu lagi, malah menceritakan tentang teman sekolahnya yang juga mengenal kata pacaran itu. Adik kecil itu mungkin belum begitu paham dengan jarak usia kami. Aku yang dengan kalender hijriah seharusnya sudah menginjak usia 21 tahun tapi mengaku 19 tahun dengan kalender masehi dan adik kecil itu berusia 7 tahun. Menurutku, ia tak terlalu mengerti atau tak terlalu peduli? Aku tak tahu, tapi ia selalu menganggap sudah seharusnya aku punya pasangan. Tapi dengar! Umi, pada kali ketiganya ini juga mengucapkan jawaban yang sama.. tak boleh dulu.. memang apa untungnya pacaran? Aku juga tak setuju tapi adik kecil itu tak tahu apa-apa soal kehidupan remaja dan dewasa. Ia harus diberi pengertian lebih tentang itu—pengertian yang benar menurut islam, mengawal kegiatan bermain dan belajarnya, ini utamanya tugas orang tua dan para dewasa yang ada di rumah atau di sampingnya kala itu.
Sahabat, itu kisahku. Aku menanti waktu kapan jawaban umi berganti. Menikmati waktu sendiriku dengan banyak teman, banyak cita-cita dan harapan yang kurancang dan tekad yang akan kuwujudkan. Sampai nanti bisa kutunjukkan pada umi dan umi mengganti jawaban pada adikku dengan jawaban “Ya sayang, kau diperbolehkan..”
KARENA RIDHO ORANG TUA ADALAH SEGALANYA, KARENA RIDHO ORANG TUA ADALAH RIDHO ALLAH JUGA ^_^


follow me @qhimahatthoyyib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar