Sabtu, Agustus 20, 2011

Tentangmu

by: Ranu Sopa
Selepas Ashar, 30 Nopember 2007

Bismillah
Assalaamu’alaikum. wr. wb.


Dear, manisku.


 
Sore ini aku sepi. Saat semua orang ramai berkumpul, aku makin senyap, menepi dalam dinginnya rindu padamu. Mengingatmu justru membuat hatiku makin sepi. Berteman sendiri, aku memilih menyepi. Memberanikan diri menulis surat ini, untukmu.
 

Ah.. bukankah dulu kau yang selalu menemani disamping meja ketikku? sambil kau bawakan secangkir kopi yang kau tuang bersama cintamu yang lembut. Ah manisnya. Akankah indah masih meretasi hariku? Senja semakin memerangkapku dalam sepi yang meggigit. Sepi yang selalu ingin kubagi bersamamu, kala kau ada di sini, di sisiku.

Lembayung masih mengabut dalam sepi halaman rumah kita. Sunyi merambat lambat, mengiringi senja yang terasa panjang bagiku. Suara mesin ketik ini pun seperti tertelan sunyi, memahat kosong yang perlahan menelusup hatiku. Aku ingin berdamai dengan sepi, lalu bercerita tentang kisah yang terkenang tentangmu.
Ingin kukabarkan berita hatiku padamu. Aku sekarang sehat. Cukup sehat untuk sekedar menulis kabar hatiku hari ini. Aku sangat kuat untuk terus tidak melupakanmu, untuk terus mengenang panjang perjalanan kita.
 

Tahukah kau? Seminggu ini aku tidak lagi minum obat. Dokter yang menganjurkanku berhenti. Justru saat bisa pergi dan mendampingimu adalah harapan terbesarku, dokter mengatakan bahwa aku sudah cukup sehat. Dia mengecewakanku.

O iya, aku sekarang rajin minum susu. Justru disaat tak ada dirimu di sisiku yang memarahiku karena aku selalu mangkir dari jadwal minum susu sebelum tidurku. Saat tak ada bawelanmu yang kini justru amat kurindukan. Dan sekarang hanya tertinggal dua pesanmu yang kau tuliskan besar-besar di pintu kamar, “JANGAN LUPA MINUM SUSU!”. “ITU OBATNYA DIMINUM JUGA, TIAP PAGI DAN SORE!”. Ha.ha.ha.. kau memerangkapku dalam pesanmu. Dan anehnya, aku justru patuh pada tulisanmu itu.
Kenapa sekarang tulisanmu lebih berbermakna bagiku dari pada omelanmu tempo dulu? Ah, aku kangen.
……….
Kau adalah penghias indah rumah kita. Indah, karna selalu kau isi gubuk mungil ini dengan warna aroma surga. Teduh dan lembut suaramu setiap petang melantuntkan senandung surgawi, masih mengisi ruang nostalgiaku saat ini. Di setiap petang itu pula kau ajari anak-anak kita senandung-senandung surga itu.
Dan sekarang, aku harus menjaga rumah surga kita sendirian, untukmu.

Serasa baru kemarin rumah kita riang oleh anak-anak. Ramai oleh kenakalan mereka yang justru membuat kita tersenyum demi mengingatnya. Dan omelan-mu yang khas demi menjaga surga kita dan seluruh isinya tertib dan nyaman masih terngiang di benakku.


Abaah, jangan lupa nanti mampir ambil pesanan ummi di tempat bu’ Jum!. Susunya diminum itu, ummi sudah buatin juga!” teriakanmu dari dapur belakang pagi itu. Seolah tahu kalau aku pasti akan melewatkan meja makan tanpa menoleh susu buatanmu.

Nisa, ayo cepet selesaikan makannya Nak! Abah dah mau berangkat itu lho!. Ini buku gambarmu, Ummi masukkan tas ya! pensil gambarnya sudah Ummi raut juga. Ayo sini salim sama ummi dulu!”
MasyaAllah. Nina, itu kan barusan ummi bereskan. Kok sudah kamu berantakin lagi!!!”. Kau mengomando seluruh pagi itu dengan sukses.

Kau adalah yang terhebat bagiku, ibu terbaik bagi anak-anakku. Sepagi itu jalan kerja pikiranmu telah bercabang-cabang memikirkan semuanya kebutuhan penghuni surga kita, sambil secara simultan kau kerjakan semua itu. Seremonial pagi sudah pasti berada dalam komandomu. Dan kami para penghuni lainnya pasti akan patuh.
 

Dan sore harinya, senyum melatimu selalu menyambutku yang membawa pulang beban lelah dari rutinitas harian seorang pegawai percetakan bergaji rendah. Sambil kau suapi dua bidadari kecil kita. Mereka sudah cantik-cantik dan rapi. Lihatlah wajah mereka yang putih-putih, membekas bedak “Rita” baby yang kau usapkan setiap selepas memandikan mereka. Mereka lucu-lucu. Hilang seketika lelahku.
 

Semua itu masih berlanjut di meja makan kita. Kau sangat piawai mengelola acara makan malam kita, dan merubahnya menjadi pentas monolog cinta. Kau penceritanya dan aku satu-satunya penonton dan pendengar yang baik.
 

Belum juga satu piring nasi kau habiskan, berpiring-piring cerita telah kau keluarkan meluncur dari bibirmu. Seri pertama cerita ulah kelucuan Nina, si-kecil yang sudah mulai bisa berjalan dan berbicara cadel-cadel. Seri-kedua tentang Nisa yang nangis karena dipukul teman kelas Nol Besarnya. Seri ketiga biaya masuk SD yang mahal. Lalu seri ibu-ibu tentangga yang suka nge-gosip, seri tukang kredit keliling, seri Bu’ Jum, seri gorden, seri grendel pintu lepas, seri ledeng mampet, seri to be continued. Ha.ha.ha., kau menumpahkan sepanjang siangmu di petang itu.
 

Aku menyayangimu sebesar kasihku padamu. Monolog itu adalah bukti kalau sehari ini kau telah memikirkan banyak hal. Sambil kau kerjakan seabreg tetek bengek pekerjaan rumah seharian. Melulu di rumah dengan urusan ruimah itu-itu saja tanpa teman yang bisa kau ajak ngobrol. Kau pasti juga merasakan jenuh. Hingga kau tumpahkan semuanya padaku, petang itu. Dan anehnya, aku menyukai itu. Itulah yang kurindukan saat kepergianku tiap hari. Itulah penghibur kala lelahku di sore hari.
Terima kasih cintaku.
………
Aku ingin mengenangmu dalam rindu.
Seperti rindu padang gersang pada derap rinai hujan.
Adakah kau pun merindu wahai melati berselimut sunyi?
Kau sudah jauh berbeda ketika pertama kali aku mengenalmu. Dulu kau memang sunyi. Pendiam dan tak tersentuh. Hingga dua hari pernikahan kita, sama sekali aku belum mendengarkan suaramu. Meski kau terlihat ramah dengan orang lain dan orang tuamu, tak sedikitpun kau berbicara untukku.
 

Pilihan keputusan orang tua kita telah memerangkap kita. Menghapuskan senyum dari wajahmu, merampas habis semua ceria masa mudamu. Pernikahan yang sesungguhnya tak kau inginkan. Pernikahan yang sama tak kuinginkan pula. Dinikahkan dengan pria yang sama sekali tak kau kenal, pria yang bahkan baru kau tahu wajahnya saat pernikahan itu adalah pengorbanan terbesarmu. Beban yang terlalu berat untuk kau tangung. 

Aku bisa memahami itu. Karna aku pun dalam posisi yang sama sepertimu; tidak ada pilihan untuk memilih.
Hanya perasaan tidak ingin mengecewakan orang tua kita saja, maka kita bertahan. Meskipun aku merasa, ini adalah ujian terberat bagi kita waktu itu. Sikap diammu menenggelamkanku dalam bimbang dan ketidakmengerian. Menggiringku dalam sakit, kecewa, dan penyesalan yang dalam pada diriku sendiri . Adakah salah dalam semua ini, hingga tak henti tangismu terurai di tiap malammu?
 

Lewat tengah malam kedua setelah pernikahan kita, aku makin rasa sakit itu, ada sesak memenuhi dadaku. Semua terasa semakin berat bagiku, aku pasrah. Yaa Allah.., adakah salah dalam semua ini? Malam ini ijinkan aku mengadukan semua kesah hatiku pada Mu. Inilah batas kemanusiaanku Tuhanku, aku menyerah.
Lemahku mendorongku mengambil air wudlu dan sajadahku, lalu ku hamparkan semua keluh kesahku pada-Nya.


Di hadapan Yang Maha Agung, hatiku gerimis, tertelan ketidakmampuan dan kelemahanku. Gerimis yang seketika menjadi deras membanjiri pipi dan sajadah di setiap sujudku. Selepas dua rakaat pertamaku, Subhanallah, aku melihat wajahmu disana. Mengenakan mukena putih, berdiri anggun di samping belakangku. Dan itu pun cukup memberi isyarat bagiku. Dan malam itu, adalah sholat jama’ah kita, pertama kalinya.
Lalu malam nyelimuti sholat-ku dalam haru. Keluh, kesah, dan kesedihan seketika menyesak bersama setitik kebahagiaan yang syahdu dan kepasrahan yang mengharu biru bertubi-tubi memenuhi dadaku. Lalu menyeruak dalam tangisku.
 

Samar kudengar isak tangismu di belakangku. Adakah kau merasakan yang sama wahai cintaku?
Dan biarlah tangis memenuhi ruku’ dan sujud kita wahai hatiku. Meski tanpa kata, kita sepakat menyerahkan semuanya pada-Nya, pada Sang Maha Pemberi Pilihan Terbaik.
Allah, Yaa Rabbiy,
Yaa Rahmaan, Yaa Rahiim
Kalau air mata ini mengalir, inilah air mata kelemahan kami. Tapi ujian ini begitu berat bagi kami, wahai Tuhanku.

Wahai Penggenggam Hati kami,
Jikalau…..,
ini semua bisa lebih mendekatkan kami pada-Mu dan ampunan-Mu.
Maka ajarkan kami bahasa ikhlas dan kekuatan sabar.

Kalau memang…,
ini semua Kau perlukan untuk menebus dosa dan hutang amal kami pada orang tua kami…, maka ambillah!
Karna meskipun tak akan pernah sebanding, biarlah ini menjadi pengorbanan terbesar kami untuk mereka.
Lirih di belakangku, kudengar suaramu selepas sholat kita,
“Saya minta maaf. Saya hanya masih perlu waktu untuk mengikhlaskan hati menerima semua ini”.
Aku mengerti,. Dan untuk pertama kalinya, aku mendengar suaramu.
Hari keempat aku membawamu pindah kerumahku. Rumah yang kita tinggali hingga sekarang. Meskipun ukurannya mini, rumah kita punya pekarangan yang rindang, cukup luas untuk bermain anak-anak dan kau menanam sayur-mayur di sana.
 

Kita sudah mulai banyak berkomunikasi waktu itu. Tapi kau belum banyak berubah, murung dan tak tersentuh. Seumpama melati, kau adalah bunga yang kehilangan mekarnya. Seperti rembulan pejam yang kehilangan cahaya jiwanya.
 

Sudah empat hari. Dan aku masih belum bisa menghadirkan senyum di wajahmu, mengembalikan cahaya hidupmu. Berpisah dengan orang tua tercintamu mungkin adalah yang terberat, setelah dua puluh tahun mereka menaungimu dan menjagamu. Tangismu tak henti ketika kau peluk ibumu dan bapakmu. Mereka pun terus berupaya menguatkanmu meski mereka berdua juga bercucuran air mata demi melepas putri pertamanya pergi. Aku sempat merasa bersalah waktu itu. Memisahkanmu dengan orang tuamu semakin membuatmu layu. Tapi karna itulah, aku semakin bertekat akan mengembalikan cahaya di hatimu. Dan membuktikan bahwa pilihan mereka benar tentang kita.
 

Sore itu adalah pertama kalinya kau memasakkan makan untukku. Kau masih tampak canggung dan kikuk. Kau hanya menunduk dan tampak ragu saat menyajikan makanan di depanku. Padahal kata orang rumah, kau adalah pemasak yang hebat, sehebat ibumu.
 

Aku terdiam sesaat setelah suapan pertamaku masuk ke mulutku. Kau tampak terpaku demi menyaksikan momentum suapan pertamaku. Ada gelisah di wajah dan matamu. Kau pasti sudah berfikir macam-macam tentang reaksiku waktu itu. Kelangsungan keluarga barumu dipertaruhkan di suapan pertamaku itu.
Meski penuh ragu, kau mulai berreaksi terhadap sikap diamku.
“Kenapa Mas? Tidak enak ya?” tanyamu perlahan.
Aku menggeleng.
“Asin ya?”
Aku menggeleng lagi.
“Ada yang kurang ya?”
Kali ini aku mengangguk perlahan.
“Kurang… garam?” tanyamu ragu-ragu, mencoba memastikan
Aku pun menggeleng lagi.
“Lalu kurang apa?”
“Kurang senyum” jawabku.
Dan sore itu, pertama kalinya kutemukan senyummu.
Selembar kain lap meja mendarat tepat di wajahku, kau memang melatiku
……..
Dulu, aku ingin seorang anak laki-laki lahir dari rahimmu. Aku tahu kau pun sangat mengiginkannya. Kau bahkan sudah memepersiapkan sebuah nama jika anak kedua kita lahir laki-laki. Namun seorang bidadari cantik yang kembali Allah anugerahkan untuk kita. Hingga kehamilanmu yang ke tiga, harapan itu masih ada. Lalu peristiwa itu terjadi. Allah mengambil kembali anak kita sebelum genap enam bulan usia kehamilanmu. Allah pun berkenan mengambil rahimmu, memupuskan harapan kita memiliki enam orang anak. Sekali lagi kau tunjukkan kesabaran dan ketabahanmu. Kamulah yang meyakinkanku tatkala keterguncanganku karnanya. Bahwa ini takdir yang dipilihkan Allah untuk kita.
 

Itulah yang selalu ku kagumi darimu. Karena di balik sifat cerewetmu tersimpan kesabaran yang luar biasa.
Kesabaran yang kembali kau tunjukkan saat dua putri kita akhirnya menikah dua tahun lalu. Dan dari mereka berdua ternyata lahir pula dua orang bidadari yang cantik. Aku masih ingat harapanmu dulu “Setidaknya cucu kita nanti ada yang laki-laki”. Tapi ternyata Allah punya bahasa lain untuk cinta kita. Kau pula yang telah menunjukkan padaku di bulan awal pernikahan kita dulu, bahwa mungkin bukan pilihannya yang salah maka kita dinikahkan. Hanya mungkin kita belum tahu jawabannya waktu itu. Karena bukan pilihan itu yang salah, tapi bagaimana menyikapi pilihan itu yang kadang kita keliru. Kita tak akan pernah tahu di mana takdir kita bermuara, sampai kita meretas pilihan itu. Karena hidup tak selalu seperti yang kita inginkan. Tapi Allah Maha Tahu, dan memilihkan untuk kita apa yang sebenarnya kita butuhkan.
…..
Suaramu yang lembut menyapaku, di suatu malam, tiga bulan yang lalu.
“Mas..”. Ah, bahkan saat usia pernikahan kita telah beranjak seperempat abad, kau masih setia memanggilku dengan panggilan itu.
“Kalau Allah berkenan memanggilku lebih dulu, apakah Mas akan menikah lagi?”. Apa…?? Aku terkejut demi mendengar pertanyaanmu.


Bukankah justru aku yang seharusnya menanyakan itu sayangku?
Bukankah aku yang justru saat ini terbaring lemas bertarung melawan bronkitisku?
Bukankah kau yang selama empat tahun ini menemaniku di sisi pebaringanku?
 

Kaulah yang terus mengingatkan dan membantuku saat aku harus minum obat setiap hariku?
“Dik.., kalau toh semuanya benar terjadi, harusnya akulah yang lebih dulu.” Sungguh aku mencintaimu.
Bagai mana pula aku bisa berpaling darimu melatiku? Karena semua yang kau berikan selama ini sudah cukup untuk membuatmu, tak tergantikan.
…….
Sore ini, hari ke tiga puluh sembilan. Aku mulai sepi.
Malam keempat puluh, semenjak kau berjuang melawan serangan mematikan itu. Hanya tiga jam. Tiga jam setelah kau berjuang keras mempertahankan jantungmu, Allah berkenan mengambilmu kembali dari sisiku.
Tapi sekarang aku ikhlas. Aku yahin, Allah memanggilmu karena kau telah menunaikan semua tugasmu.
Kau telah menunaikan tugasmu dengan baik wahai hatiku.
….
Karena sekarang aku sehat. Sangat sehat untuk menulis surat ini untukmu. Meski entah harus kukirimkan kemana, aku hanya rindu. Dan inilah obatku.
Aku sangat sehat untuk terus tidak melupakanmu. Menjaga rumah surga kita sendirian, untukmu. Dan untuk menunaikan tugas terakhirku di dunia ini.
Terima kasih telah menemani hariku, menapakkan jejak-jejak cinta diruas jalan kita. Dan atas anak-anak surga yang kau lahirkan dari cintamu.
Semoga Allah mempertemukan kita di Jannah-Nya. Amin.
Salam sayang,

‘Mas’mu
Eyang-nya Adel dan Farah,
dan mujahid kecil yang belum sempat diberikan nama, lahir tiga hari yang lalu.
Aku ingin dia diberi nama Abdur Rahman.
Seperti nama impianmu.


follow me @qhimahatthoyyib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar