Rabu, Juni 29, 2016

For Desember



Louvember, 20th 2021
Desember aku senang sekali hari ini, kau tahu kenapa? Entahlah! Sebenarnya aku juga tak begitu mengerti mengapa diriku dan perasaanku terasa sangat bahagia, tanpa beban, dan sangat ringan. Aku ingin sekali bercerita sesuatu kepadamu tentang negeriku saat ini. Aku sangat senang, sekarang negeriku menjadi nyaman, tenteram dan menyenangkan. Semua warga negara sejahtera dan sentosa, tidak ada kerusuhan dimana-mana, sungguh menyenangkan sekali tinggal di negeri yang semacam ini.
Sekarang aku tinggal di sebuah rumah dengan ayahku, ibuku, adik-adikku sayangnya aku tidak punya kakak, maukah kau menjadi kakakku Desember? Tidak perlu sih sebenarnya, aku cukup senang kau menjadi sahabat terbaikku yang selalu mau menemaniku selama ini. Desember, aku sangat senang meskipun di rumahku tidak ada barang-barang yang kata orang sudah menjadi kebutuhan pokok mereka, seperti televisi, kulkas, dan mesin cuci juga barang-barang yang lainnya. Aku sudah cukup senang meski tak ada semua barang itu di rumah, aku senang punya keluarga yang sangat istimewa, selalu tertawa, selalu bahagia, aku pun senang jika semua tetanggaku sudah sejahtera, aku sangat senang.
Desember, lihatlah di sekelilingku, semua bahagia, tertawa, semua sejahtera, aku pun akan bahagia jika semua bahagia. Orangtuaku pun selalu bahagia, kami sekeluarga selalu bahagia. Satu tetanggaku yang sangat kukagumi, ia selalu bahagia meskipun setiap hari harus mencari sampah demi memenuhi kebutuhan hidupnya, ia selalu tersenyum meskipun tak seberapa banyak hasil jerih payah yang ia dapatkan setelah seharian penuh mencari sampah, ia selalu berbagi kepada keluargaku, berbagi tentang cerita hidupnya, berbagi rezeki yang telah ia dapatkan, berbagi apapun kepada kami. Sungguh hidup kami sudah sejahtera.
Desember, lihatlah langit itu! Senja itu begitu mempesona, selalu merona berwarna merah dan jingga, selalu membuatku bahagia dan merasa menjadi orang paling bahagia di dunia. Desember, sungguh aku sangat senang berada di negeri ini, negeri yang hijau, negeri yang biru, negeri yang penuh dengan warna, warna yang selalu membuat negeri ini mempesona dan membuat siapapun terpesona padanya. Desember, harusnya kau kuajak kesini untuk melihat betapa indahnya negeri yang kutempati ini.
Desember, pagi ini aku harus berangkat bekerja. Aku harus pergi mencari rezekiku yang telah ditetapkan Tuhan dan akan diberikan oleh-Nya padaku. Aku bekerja di tempat yang tak disukai banyak orang tetapi desember, aku sangat bahagia, jika tempat itu tak disukai banyak orang maka tidak banyak orang mencari nafkah disana namun ternyata aku salah, banyak sekali orang bernasib sama seperti aku. Jadi aku punya banyak sekali kenalan dari tempat kerja itu. Kata orang sih jarak dari rumah ke tempat kerjaku kurang lebih 2,5 km karena aku tidak tahu pasti ukurannya berapa, kau tahu kenapa? Karena aku tidak pernah lulus SMA dan pendidikan terakhirku adalah sekolah dasar.
Desember, tempat kerjaku tak berbeda jauh dengan tempat kerja tetanggaku yang kuceritakan tadi, tetapi tempat kerjaku jauh lebih nyaman dari tempatnya. Di tempatku lebih banyak sampah yang dapat kuambil, sedangkan di tempatnya sedikit. Di tempatku lebih banyak kawan yang bisa kuajak berkenalan sedangkan di tempatnya sangat sepi. Di tempatku banyak orang baik yang dengan senang hati memberikan sampahnya pada kami, sedangkan di tempatnya tak ada orang yang peduli. Tempat kerjaku juga sangat luas daripada tempatnya.
Desember, sekarang aku bingung bagaimana harus membahagiakan kedua orangtuaku, meskipun mereka selalu terlihat bahagia di depanku padahal aku sangat tahu bagaimana perasaan mereka terhadap keadaan kami. Kami sungguh sudah sejahtera, negeri ini pun sudah sejahtera, kami sangat diurus dengan sangat baik oleh pemerintah negeri ini. Warga di sekitar kami, semuanya sejahtera. Kami dapat bekerja dengan aman dan nyaman tanpa ada yang mengganggu kami.
Desember sudah dulu ya, kita berbincang-bincang lagi besok. Sekarang senja sudah mulai tenggelam dan kau juga harus istirahat, jaga kesehatanmu, bekerjalah dengan baik jangan lupa tersenyum karena dunia ini akan takluk pada senyum kita. Semangat!! Sampai jumpa..
000
Senja turun dengan indahnya semakin merah dan jingga saat ia mengakhiri tulisannya yang akan ia berikan pada Desember. Ah entahlah! jika kalian bertanya kepadaku tentang siapa itu Desember yang dia maksud sungguh, aku juga tidak tahu siapa Desember yang ia maksud sebenarnya jadi sebaiknya tanya saja sendiri kepadanya.
Namanya Shofiy, pria yang lembut—sama seperti namanya yang berasal dari bahasa arab yang artinya lembut—tipikal orang yang ramah dan sopan dengan rambut hitam legam namun telah menjadi kemerahan karena teriknya sinar matahari selalu mengenai rambutnya saat ia bekerja. Usianya kira-kira 28 tahun, terlihat dari parasnya yang tampan namun telah pudar karena tak pernah dirawatnya dan badannya yang gagah namun sedikit kurus karena nutrisi tubuh yang tak pernah dipenuhi.
Aku tak begitu tahu dimana ia tinggal, dimana ia bekerja, namun kami bertemu disini, di tempat ini ia ceritakan semua padaku, tentang Desember—meski sampai saat ini aku tak tahu Desember itu siapa—tentang keluarganya, tentang tempat kerjanya, tentang semua aktifitas yang ia lakukan. Di tempat ini, kami sering bertemu, saat aku menjajakan daganganku dan saat itu ia beristirahat dari pekerjaannya. Di tempat ini pula kami mengatakan janji itu.  
000
Louvember, 20th 2012
Desember, hari ini aku bertemu dengan seseorang yang sangat istimewa menurutku. Ia seorang pria namanya Rizqi, seorang pedagang keliling yang ramah dan murah senyum.
Ceritanya begini, saat aku tiba-tiba saja merasa penat dan sangat lelah, aku berjalan menyusuri waktu, maju perlahan-lahan menghindari tempat kerjaku dan tanpa terasa aku telah berjalan sejauh 1 km dari tempat kerjaku. Di tempat itulah tiba-tiba aku bertemu dengan seseorang yang tersenyum padaku, menawarkan dagangannya padaku. “Dia pikir, siapa dia? Senyum-senyum gak jelas! gak tahu orang lagi pusing apa?” aku berceloteh dengan diriku sendiri saat melihatnya tersenyum padaku.
“Minum mas?” ia tersenyum padaku.
Gak butuh!” kujawab dengan muka masamku.
“Sepertinya mas-nya ada masalah ya? Ada apa?” masih dengan senyumnya.
“Dasar orang aneh, dibentak malah gak pergi” omelku dalam hati.
“Kenapa mas? Ada apa? Mau minum? Gak papa ini saya beri, gratis kok..”
“Benarkah! Gratis?” tetap bertanya dalam hati.
“Tetapi sebagai gantinya, mas bisa cerita pada saya ada apa sebenarnya..” lanjutnya.
“Hmm, orang aneh! Dagangan kok dikasih ke orang asing gak dikenalnya..”
“Mas, siapa namanya?” tanyanya padaku tetap dengan senyumnya ditambah uluran tangannya.
Tidak tega membiarkannya, kujawab saja seenakku. “Indra” tanpa menjabat uluran tangannya.
“Oh mas Indra, saya Rizqi pake q lho mas jangan pake k..” ia perkenalkan dirinya tetap dengan ulasan senyum di wajahnya. “Mari mas duduk sini kita minum sebentar.” Lanjutnya dengan memberikan sebotol teh padaku.
Dengan sedikit terpaksa dan sangat ingin, kuambil saja botol itu dari tangannya dan anehnya ia malah tersenyum senang melihatku mengambil botol itu dari genggamannya. “Nah begitu dong.. tawaran saya diambil, mari minum sambil duduk mas Indra.” Ucapnya setelah aku mengambil botolnya dan kami duduk berdampingan, aku ada di sebelah kanannya, dan ia ada disebelah kanan gerobaknya.
“Mas Indra, sungguh sebenarnya tidak ada hidup seorang manusia itu mudah, kaya miskin, tua muda, pria wanita, semuanya sulit, saat kaya sulit memberi, saat miskin sulit menerima, saat tua sulit berkarya, saat muda sulit bekerja, pada pria sulit merasa, pada wanita sulit memaksa. Semuanya serba sulit namun dengan kesulitan, kita bisa mengerti dan merasakan adanya kemudahan. Ketika kesulitan melanda, kita harus memaksa, memaksa diri kita untuk menerima, memaksa diri kita untuk memberi, memaksa diri kita untuk berkarya, memaksa diri kita untuk bekerja,memaksa diri kita untuk merasa, memaksa diri kita untuk  memaksa.
Mas Indra, hidup ini adalah seni mengelola keterpaksaan, jika kaya harus terpaksa memberi, jika miskin harus terpaksa menerima, jika tidak sejahtera terpaksa harus bersikap sejahtera.”
000
Pertama yang aku tahu, namanya Indra orang yang sangat cuek dan tidak punya harapan, entah mungkin karena hari itu ia benar-benar suntuk atau memang tabiatnya seperti itu, aku tidak tahu. Lalu saat hari itu berlalu, ia kembali ke tempat itu kedua kalinya, membawa temannya dengan wajah gembira entah karena apa, aku belum tiba di tempat itu saat ia datang kemudian duduk dan menantiku. Ia yang kemudian aku tahu dipanggil shofiy oleh temannya, pria ramah luar biasa sesaat sebelum aku tiba disana.
“Kenapa baru datang!” tiba-tiba ia membentakku.
“Kita tidak janjian di sini kan? Siapa suruh kamu kesini?” tetap dengan senyumku. “Mau minum?” lalu kutawarkan minuman pada temannya.
“Kenapa harus berbohong padaku tentang namamu Shof? Itukan nama yang bagus.. nama pemberian orangtuamu, kau tahu kan apa artinya? Mereka sangat berharap kau akan menjadi pria yang lembut. Dalam hidup ini, kau harus yakin bahwa apapun yang kau jalani dan semua yang kau tekuni akan membuahkan hasil.”
Ah! Semua kenangan itu membuatku rindu padanya, sahabat terbaik yang pernah kumiliki seumur hidupku, bersama merasa sejahtera meski tak sejahtera, bersama merasa gembira meski tak sepenuhnya gembira, bersama merasa bahagia meski tak pernah bahagia, bukankah saat kesedihan dibagi maka kesedihan itu berkurang setengahnya dan saat kebahagiaan itu dibagi maka akan bertambah dua kali lipat? Tapi mengapa banyak orang tak sadar, Tak pernah mau berbagi saat ia bahagia tapi selalu berbagi saat ia berduka, padahal saat ia tiada siapa yang mau berduka untuknya?
Hari ini pun aku masih berduka, hari kesepuluh setelah pemakamannya, ia yang selalu gembira, ia yang selalu membuatku bahagia, ia sahabat terbaik yang pernah ada, semangatnya, jasanya, meski tak banyak orang tahu karena tak banyak orang mau tahu. Entah seberapa miskinnya, ia selalu menganggap dirinya sejahtera, menganggapku, menganggap keluarganya, menganggap tetangganya, menganggap negeri ini sejahtera.
Negeri yang kaya, negeri yang hijau, negeri yang biru, negeri yang berwarna katanya. “Tak ada negeri yang seperti ini kawan, negeri yang memberimu banyak pelajaran, negeri yang memberimu kesempatan untuk menunjukkan kekreatifanmu dalam menjalani hidup, negeri yang sungguh mempesona. Mari bersama-sama berjuang memperbaiki hidup ini dan memperbaiki negeri ini. Sungguh! Dengar janjiku, kau juga harus berjanji ya.. kita BERSAMA bermimpi dan MEWUJUDKANNYA.”
Itulah kat-kata terakhir yang aku dengar dari mulutnya, semangat yang menggebu-gebu untuk memperbaiki negeriku, negeri kami, tempat tinggal kami. 
000
For Desember
Desember, kumohon pertemukan kembali aku dengannya, sungguh bahagia sekali bertemu dengannya hari ini, ia memberiku banyak hal, tak hanya minuman, tapi juga pelajaran untuk menjalani hidup di negeri yang sejahtera ini. Ia mengajariku berseni dalam hidup, ia membuatku bermakna, meski sebenarnya tak ada orang yang menganggapku bermakna, selain ia, orangtuaku, dan adik-adikku.
Desember, kumohon, aku rindu sekali pada mereka meski negeri ini tak sama sejahteranya dengan tempat ini, meski negeri ini tak sehijau tempatku saat ini, meski negeri ini tak sebiru tempat ini, meski negeri ini sungguh tak sebaik tempat ini.
Desember, Senja ini, aku sangat rindu padanya, aku rindu pada hidupku, tapi aku senang sudah merasakan kesejahteraan ini lebih dahulu daripada mereka. Ingin sekali aku mengajak mereka ke tempat ini, merasakan kenyamanan ini, merasakan kesejahteraan ini. Sungguh benar katanya, hidup ini adalah seni melawan dan memanfaatkan keterpaksaan. Senja ini aku terpaksa meninggal, meninggalkan dunia, meninggalkan keluarga dan temanku di sana. Senja ini aku terpaksa meninggalkanmu Desember, sampai jumpa, semoga kau selalu ceria, hiduplah dengan semua keterpaksaan yang ada dan rasakan manfaatnya.

Selesai ditulis pada 16 September 2014
follow me @qhimahatthoyyib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar