Louvember, 20th 2021
Desember aku senang sekali hari ini,
kau tahu kenapa? Entahlah! Sebenarnya aku juga tak begitu mengerti mengapa
diriku dan perasaanku terasa sangat bahagia, tanpa beban, dan sangat ringan.
Aku ingin sekali bercerita sesuatu kepadamu tentang negeriku saat ini. Aku
sangat senang, sekarang negeriku menjadi nyaman, tenteram dan menyenangkan.
Semua warga negara sejahtera dan sentosa, tidak ada kerusuhan dimana-mana,
sungguh menyenangkan sekali tinggal di negeri yang semacam ini.
Sekarang aku tinggal di sebuah rumah
dengan ayahku, ibuku, adik-adikku sayangnya aku tidak punya kakak, maukah kau
menjadi kakakku Desember? Tidak perlu sih sebenarnya, aku cukup senang kau
menjadi sahabat terbaikku yang selalu mau menemaniku selama ini. Desember, aku
sangat senang meskipun di rumahku tidak ada barang-barang yang kata orang sudah
menjadi kebutuhan pokok mereka, seperti televisi, kulkas, dan mesin cuci juga
barang-barang yang lainnya. Aku sudah cukup senang meski tak ada semua barang
itu di rumah, aku senang punya keluarga yang sangat istimewa, selalu tertawa,
selalu bahagia, aku pun senang jika semua tetanggaku sudah sejahtera, aku
sangat senang.
Desember, lihatlah di sekelilingku,
semua bahagia, tertawa, semua sejahtera, aku pun akan bahagia jika semua
bahagia. Orangtuaku pun selalu bahagia, kami sekeluarga selalu bahagia. Satu
tetanggaku yang sangat kukagumi, ia selalu bahagia meskipun setiap hari harus
mencari sampah demi memenuhi kebutuhan hidupnya, ia selalu tersenyum meskipun
tak seberapa banyak hasil jerih payah yang ia dapatkan setelah seharian penuh
mencari sampah, ia selalu berbagi kepada keluargaku, berbagi tentang cerita
hidupnya, berbagi rezeki yang telah ia dapatkan, berbagi apapun kepada kami.
Sungguh hidup kami sudah sejahtera.
Desember, lihatlah langit itu! Senja
itu begitu mempesona, selalu merona berwarna merah dan jingga, selalu membuatku
bahagia dan merasa menjadi orang paling bahagia di dunia. Desember, sungguh aku
sangat senang berada di negeri ini, negeri yang hijau, negeri yang biru, negeri
yang penuh dengan warna, warna yang selalu membuat negeri ini mempesona dan
membuat siapapun terpesona padanya. Desember, harusnya kau kuajak kesini untuk
melihat betapa indahnya negeri yang kutempati ini.
Desember, pagi ini aku harus
berangkat bekerja. Aku harus pergi mencari rezekiku yang telah ditetapkan Tuhan
dan akan diberikan oleh-Nya padaku. Aku bekerja di tempat yang tak disukai
banyak orang tetapi desember, aku sangat bahagia, jika tempat itu tak disukai
banyak orang maka tidak banyak orang mencari nafkah disana namun ternyata aku
salah, banyak sekali orang bernasib sama seperti aku. Jadi aku punya banyak
sekali kenalan dari tempat kerja itu. Kata orang sih jarak dari rumah ke tempat
kerjaku kurang lebih 2,5 km karena aku tidak tahu pasti ukurannya berapa, kau
tahu kenapa? Karena aku tidak pernah lulus SMA dan pendidikan terakhirku adalah
sekolah dasar.
Desember, tempat kerjaku tak berbeda
jauh dengan tempat kerja tetanggaku yang kuceritakan tadi, tetapi tempat
kerjaku jauh lebih nyaman dari tempatnya. Di tempatku lebih banyak sampah yang
dapat kuambil, sedangkan di tempatnya sedikit. Di tempatku lebih banyak kawan
yang bisa kuajak berkenalan sedangkan di tempatnya sangat sepi. Di tempatku
banyak orang baik yang dengan senang hati memberikan sampahnya pada kami,
sedangkan di tempatnya tak ada orang yang peduli. Tempat kerjaku juga sangat
luas daripada tempatnya.
Desember, sekarang aku bingung
bagaimana harus membahagiakan kedua orangtuaku, meskipun mereka selalu terlihat
bahagia di depanku padahal aku sangat tahu bagaimana perasaan mereka terhadap
keadaan kami. Kami sungguh sudah sejahtera, negeri ini pun sudah sejahtera,
kami sangat diurus dengan sangat baik oleh pemerintah negeri ini. Warga di
sekitar kami, semuanya sejahtera. Kami dapat bekerja dengan aman dan nyaman
tanpa ada yang mengganggu kami.
Desember sudah dulu ya, kita
berbincang-bincang lagi besok. Sekarang senja sudah mulai tenggelam dan kau
juga harus istirahat, jaga kesehatanmu, bekerjalah dengan baik jangan lupa
tersenyum karena dunia ini akan takluk pada senyum kita. Semangat!! Sampai
jumpa..
000
Senja turun dengan indahnya semakin
merah dan jingga saat ia mengakhiri tulisannya yang akan ia berikan pada
Desember. Ah entahlah! jika kalian bertanya kepadaku tentang siapa itu Desember yang dia
maksud sungguh, aku juga tidak tahu siapa Desember yang ia maksud sebenarnya
jadi sebaiknya tanya saja sendiri kepadanya.
Namanya Shofiy, pria yang lembut—sama seperti namanya yang berasal dari
bahasa arab yang artinya lembut—tipikal orang yang ramah dan sopan dengan
rambut hitam legam namun telah menjadi kemerahan karena teriknya sinar matahari
selalu mengenai rambutnya saat ia bekerja. Usianya kira-kira 28 tahun, terlihat
dari parasnya yang tampan namun telah pudar karena tak pernah dirawatnya dan
badannya yang gagah namun sedikit kurus karena nutrisi tubuh yang tak pernah
dipenuhi.
Aku tak begitu tahu dimana ia tinggal, dimana ia bekerja, namun kami
bertemu disini, di tempat ini ia ceritakan semua padaku, tentang Desember—meski
sampai saat ini aku tak tahu Desember itu siapa—tentang keluarganya, tentang
tempat kerjanya, tentang semua aktifitas yang ia lakukan. Di tempat ini, kami
sering bertemu, saat aku menjajakan daganganku dan saat itu ia beristirahat
dari pekerjaannya. Di tempat ini pula kami mengatakan janji itu.
000
Louvember, 20th 2012
Desember, hari ini aku bertemu
dengan seseorang yang sangat istimewa menurutku. Ia seorang pria namanya Rizqi,
seorang pedagang keliling yang ramah dan murah senyum.
Ceritanya begini, saat aku tiba-tiba
saja merasa penat dan sangat lelah, aku berjalan menyusuri waktu, maju
perlahan-lahan menghindari tempat kerjaku dan tanpa terasa aku telah berjalan
sejauh 1 km dari tempat kerjaku. Di tempat itulah tiba-tiba aku bertemu dengan
seseorang yang tersenyum padaku, menawarkan dagangannya padaku. “Dia pikir,
siapa dia? Senyum-senyum gak jelas! gak tahu orang lagi pusing apa?” aku
berceloteh dengan diriku sendiri saat melihatnya tersenyum padaku.
“Minum mas?” ia tersenyum padaku.
“Gak
butuh!” kujawab dengan muka masamku.
“Sepertinya mas-nya ada masalah ya?
Ada apa?” masih dengan senyumnya.
“Dasar orang aneh, dibentak malah gak pergi” omelku dalam hati.
“Kenapa mas? Ada apa? Mau minum? Gak papa ini saya beri, gratis kok..”
“Benarkah! Gratis?” tetap bertanya
dalam hati.
“Tetapi sebagai gantinya, mas bisa
cerita pada saya ada apa sebenarnya..” lanjutnya.
“Hmm, orang aneh! Dagangan kok dikasih ke orang asing gak dikenalnya..”
“Mas, siapa namanya?” tanyanya
padaku tetap dengan senyumnya ditambah uluran tangannya.
Tidak tega membiarkannya, kujawab
saja seenakku. “Indra” tanpa menjabat uluran tangannya.
“Oh mas Indra, saya Rizqi pake q lho mas jangan pake k..” ia perkenalkan dirinya tetap
dengan ulasan senyum di wajahnya. “Mari mas duduk sini kita minum sebentar.”
Lanjutnya dengan memberikan sebotol teh padaku.
Dengan sedikit terpaksa dan sangat
ingin, kuambil saja botol itu dari tangannya dan anehnya ia malah tersenyum
senang melihatku mengambil botol itu dari genggamannya. “Nah begitu dong..
tawaran saya diambil, mari minum sambil duduk mas Indra.” Ucapnya setelah aku
mengambil botolnya dan kami duduk berdampingan, aku ada di sebelah kanannya,
dan ia ada disebelah kanan gerobaknya.
“Mas Indra, sungguh sebenarnya tidak
ada hidup seorang manusia itu mudah, kaya miskin, tua muda, pria wanita,
semuanya sulit, saat kaya sulit memberi, saat miskin sulit menerima, saat tua
sulit berkarya, saat muda sulit bekerja, pada pria sulit merasa, pada wanita
sulit memaksa. Semuanya serba sulit namun dengan kesulitan, kita bisa mengerti
dan merasakan adanya kemudahan. Ketika kesulitan melanda, kita harus memaksa,
memaksa diri kita untuk menerima, memaksa diri kita untuk memberi, memaksa diri
kita untuk berkarya, memaksa diri kita untuk bekerja,memaksa diri kita untuk
merasa, memaksa diri kita untuk memaksa.
Mas Indra, hidup ini adalah seni
mengelola keterpaksaan, jika kaya harus terpaksa memberi, jika miskin harus terpaksa
menerima, jika tidak sejahtera terpaksa harus bersikap sejahtera.”
000
Pertama yang aku tahu, namanya Indra
orang yang sangat cuek dan tidak punya harapan, entah mungkin karena hari itu
ia benar-benar suntuk atau memang tabiatnya seperti itu, aku tidak tahu. Lalu
saat hari itu berlalu, ia kembali ke tempat itu kedua kalinya, membawa temannya
dengan wajah gembira entah karena apa, aku belum tiba di tempat itu saat ia
datang kemudian duduk dan menantiku. Ia yang kemudian aku tahu dipanggil shofiy
oleh temannya, pria ramah luar biasa sesaat sebelum aku tiba disana.
“Kenapa baru datang!” tiba-tiba ia
membentakku.
“Kita tidak janjian di sini kan?
Siapa suruh kamu kesini?” tetap dengan senyumku. “Mau minum?” lalu kutawarkan
minuman pada temannya.
“Kenapa harus berbohong padaku
tentang namamu Shof? Itukan nama yang bagus.. nama pemberian orangtuamu, kau
tahu kan apa artinya? Mereka sangat berharap kau akan menjadi pria yang lembut.
Dalam hidup ini, kau harus yakin bahwa apapun yang kau jalani dan semua yang
kau tekuni akan membuahkan hasil.”
Ah! Semua kenangan itu membuatku
rindu padanya, sahabat terbaik yang pernah kumiliki seumur hidupku, bersama
merasa sejahtera meski tak sejahtera, bersama merasa gembira meski tak
sepenuhnya gembira, bersama merasa bahagia meski tak pernah bahagia, bukankah
saat kesedihan dibagi maka kesedihan itu berkurang setengahnya dan saat
kebahagiaan itu dibagi maka akan bertambah dua kali lipat? Tapi mengapa banyak
orang tak sadar, Tak pernah mau berbagi saat ia bahagia tapi selalu berbagi
saat ia berduka, padahal saat ia tiada siapa yang mau berduka untuknya?
Hari ini pun aku masih berduka, hari
kesepuluh setelah pemakamannya, ia yang selalu gembira, ia yang selalu
membuatku bahagia, ia sahabat terbaik yang pernah ada, semangatnya, jasanya,
meski tak banyak orang tahu karena tak banyak orang mau tahu. Entah seberapa
miskinnya, ia selalu menganggap dirinya sejahtera, menganggapku, menganggap
keluarganya, menganggap tetangganya, menganggap negeri ini sejahtera.
Negeri yang kaya, negeri yang hijau,
negeri yang biru, negeri yang berwarna katanya. “Tak ada negeri yang seperti
ini kawan, negeri yang memberimu banyak pelajaran, negeri yang memberimu
kesempatan untuk menunjukkan kekreatifanmu dalam menjalani hidup, negeri yang
sungguh mempesona. Mari bersama-sama berjuang memperbaiki hidup ini dan
memperbaiki negeri ini. Sungguh! Dengar janjiku, kau juga harus berjanji ya..
kita BERSAMA bermimpi dan MEWUJUDKANNYA.”
Itulah kat-kata terakhir yang aku
dengar dari mulutnya, semangat yang menggebu-gebu untuk memperbaiki negeriku,
negeri kami, tempat tinggal kami.
000
For Desember
Desember, kumohon pertemukan kembali
aku dengannya, sungguh bahagia sekali bertemu dengannya hari ini, ia memberiku
banyak hal, tak hanya minuman, tapi juga pelajaran untuk menjalani hidup di
negeri yang sejahtera ini. Ia mengajariku berseni dalam hidup, ia membuatku
bermakna, meski sebenarnya tak ada orang yang menganggapku bermakna, selain ia,
orangtuaku, dan adik-adikku.
Desember, kumohon, aku rindu sekali
pada mereka meski negeri ini tak sama sejahteranya dengan tempat ini, meski
negeri ini tak sehijau tempatku saat ini, meski negeri ini tak sebiru tempat
ini, meski negeri ini sungguh tak sebaik tempat ini.
Desember, Senja ini, aku sangat
rindu padanya, aku rindu pada hidupku, tapi aku senang sudah merasakan
kesejahteraan ini lebih dahulu daripada mereka. Ingin sekali aku mengajak
mereka ke tempat ini, merasakan kenyamanan ini, merasakan kesejahteraan ini.
Sungguh benar katanya, hidup ini adalah seni melawan dan memanfaatkan
keterpaksaan. Senja ini aku terpaksa meninggal, meninggalkan dunia,
meninggalkan keluarga dan temanku di sana. Senja ini aku terpaksa
meninggalkanmu Desember, sampai jumpa, semoga kau selalu ceria, hiduplah dengan
semua keterpaksaan yang ada dan rasakan manfaatnya.
Selesai ditulis pada 16 September 2014
follow me @qhimahatthoyyib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar