Sahabat pernah
mendengar istilah ‘menelan ludah sendiri’? Mungkin ini istilah yang cocok untuk
kisah yang akan kita bahas berikut. Kisah salah satu paman Nabi yang paling
dekat dan paling melindungi beliau. Yap, paman yang merawat beliau sejak kecil,
sejak meninggalnya kakek beliau. Paman yang mengajak dan mengajari beliau berdagang,
paman yang paling gembira atas kelahiran beliau. Ialah Abu Tholib. Iya, beberapa
kisah heroik beliau terhadap penjagaan Rosulullah SAW dapat kita temukan di
berbagai siroh Nabawiyah. Namun, hingga akhir hayat sangat disayangkan karena
beliau tidak memilih Islam menjadi destinasi terakhir.
Berkaitan dengan
kisah tersebut, di zaman sekarang ini juga dapat kita temui
simpatisan-simpatisan umat muslim yang terdiri dari pemeluk ‘kepercayaan’ lain.
Mereka yang baik terhadap umat muslim, mereka yang mengatasnamakan toleransi
untuk menghormati umat muslim, mereka yang seolah melindungi umat muslim dari
bahaya dan tantangan hidup, mereka yang melakukan berbagai cara untuk menarik
perhatian umat muslim agar tidak memusuhi atau memaksa mereka masuk ke dalam
Islam. Padahal seperti yang telah kita bahas di Setapak Cahaya: Tidak Ada Paksaan, bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk islam. Baik atau tidak perbuatan
mereka juga tidak dapat bernilai ibadah atau mendapatkan pahala.
Jika sahabat
sekalian mengetahui isi kitab-kitab terdahulu sebelum AlQur’an (tentunya kitab
yang asli dan bukan yang telah diubah atau dibuat-buat oleh manusia), telah
digambarkan bahwa akan diutus seorang Rosul dan Nabi terakhir yang akan
mengubah kehidupan dan membawa kebenaran yang mutlak. Sejarah tersebut tertulis di dalam AlQur’an dan terbukti
kebenarannya. Mungkin sahabat bisa menjadikan kajian Ustadz Zakir Naik atau
Ustadz Bangun Samudra sebagai referensi dalam pengetahuan seperti ini.
Sejarah tersebut
tertulis di surat Al-An’am ayat 20-24 yang artinya:
20. orang-orang yang telah Kami
berikan kitab kepadanya, mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka Mengenal
anak-anaknya sendiri. orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman
(kepada Allah).
21. dan siapakah yang lebih
aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau
mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak
mendapat keberuntungan.
22. dan (ingatlah), hari yang di
waktu itu Kami menghimpun mereka semuanya[464] kemudian Kami berkata kepada
orang-orang musyrik: "Di manakah sembahan-sembahan kamu yang dulu kamu
katakan (sekutu-sekutu) kami?".
23. kemudian Tiadalah fitnah[465]
mereka, kecuali mengatakan: "Demi Allah, Tuhan Kami, Tiadalah Kami
mempersekutukan Allah".
24. lihatlah bagaimana mereka
telah berdusta kepada diri mereka sendiri dan hilanglah daripada mereka
sembahan-sembahan yang dahulu mereka ada-adakan.
[464] Semua makhluk Allah yang
mukallaf.
[465] Yang dimaksud dengan fitnah
di sini ialah jawaban yang berupa kedustaan.
Tafsir Jalalain
mengenai ayat ini, menyebut mereka yang mengenal Muhammad SAW dengan sifat dan
ciri yang terdapat pada kitab mereka tetapi tidak beriman kepada Rosulullah merupakan
pendusta AlQur’an dan penyekutu Allah. Mereka pula orang-orang yang berdusta
terhadap diri mereka sendiri karena tidak menganggap diri mereka sebagai
orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah. Padahal telah jelas bukti-bukti
yang mereka tunjukkan dan Allah tidak luput Melihatnya namun di hari
dikumpulkannya mereka tetap tidak mengakui kesalahan mereka.
Inilah yang tadi
saya maksudkan di atas yaitu menelan ludah sendiri. Mereka akhirnya terjebak
dalam perkataan dan perbuatannya sendiri. Kisah lainnya mengenai paman Abu
Tholib tertera pada surat yang sama ayat 26, artinya: “Dan mereka melarang
(orang lain) mendengarkan Al-Quran dan mereka sendiri menjauhkan diri
daripadanya, dan mereka hanyalah membinasakan diri mereka sendiri, sedang
mereka tidak menyadari.”
Yap, mereka
membinasakan dirinya sendiri. Diriwayatkan oleh al-Hakim yang bersumber dari
Ibnu ‘Abbas, ayat ini turun berkenaan dengan Abu Tholib yang melarang kaum
musyrikin menyakiti Nabi SAW, padahal ia sendiri menjauhkan diri dari ajaran
Nabi. Beliau telah mencelakakan diri tanpa disadari. Riwayat lainnya dari Ibnu
Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin Abi Hilal menyebutkan bahwa ayat ini
turun karena paman-paman Nabi SAW yang berjumlah sepuluh orang secara
terang-terangan mereka sangat dekat kepada Nabi, tetapi secara diam-diam mereka
merupakan perintang utamanya.
Sahabat, di hari
pertama bulan Romadhon ini. Mari kita jadikan bulan ini sebagai sekolah untuk
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah Ta’ala. Tidak membohongi
Allah, Rosul-Nya serta diri kita sendiri. Semoga kita diperkenankan oleh Allah
untuk terus berada di jalan-Nya. Amiin.. Selamat menjalankan ibadah puasa~
follow me @qhimahatthoyyib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar