Assalamu’alaikum
sahabat, kabar baikkah iman kita hari ini? Semoga puasanya lancar yaa, bukan
hanya lancar dalam menjaga dari makan dan minum namun juga menjaga dari nafsu,
syahwat dan lain sebagainya. Oya, setelah kemarin kita berbicara mengenai zona
nyaman (Setapak Cahaya: Berada di Zona Nyaman), saya ingin bertanya apakah di
antara para sahabat ada yang masih mengganggap bahwa Islam adalah zona yang
tidak nyaman? Zona yang memberatkan, zona yang asing, dan zona yang langka?
Setelah membaca tulisan-tulisan saya, apakah sahabat masih menganggapnya
demikian? Semoga tidak lagi ya, insyaAllah kita akan bersama-sama berubah
menjadi lebih baik setelah mempelajari dan menelaah Al-Qur’an dengan baik.
Mengenai zona
nyaman, saya teringat kisah saya sendiri ketika masih berada di bangku sekolah
sekitar delapan sampai sepuluh tahun lalu. Saat itu saya bersekolah di salah
satu pesantren favorit di Surabaya yang mempunyai cabang di Mojokerto. Berada
di bangku Madrasah Tsanawiyyah (setingkat SMP) dan lingkungan sekolah yang ‘islami’
sudah tidak menjadi momok bagi saya, pasalnya sejak kecil saya selalu menginginkan
lingkungan sekolah yang islami. Walhasil, pendidikan setingkat SD hingga SMA
selalu saya tempuh di sekolah islam.
Cukup tentang
saya, mari kita lanjutkan bahasan pokok tulisan ini. Ya, sekolah menjadi tempat
penting urutan kedua untuk membentuk kepribadian seseorang. Sayangnya,
akhir-akhir ini banyak sekali bermunculan berita mengenai guru yang dilaporkan
kepada polisi oleh orang tua karena anaknya telah dihukum oleh guru tersebut.
Hmm mungkin kita tidak perlu bertanya siapa yang salah dalam kejadian tersebut.
Tapi sebaliknya kita harus langsung introspeksi diri kita, mungkin saja secara
tidak sengaja dan tidak kita sadari, kita melakukannya meski dalam bentuk yang
lain dan tidak sama persis.
Berada di
sekolah islam, menggugah ekspektasi saya mengenai apa saja yang akan meningkat
dari diri saya ketika berada di sana. Namun, ternyata hal itu tidak sesuai
dengan kenyataannya. Masih banyak sekolah-sekolah berlabel islam tidak
menerapkan islam secara menyeluruh terutama pada dasar-dasar aqidah, ibadah,
dan syari’at. Mengajarkan cara berjilbab, berpakaian atau menutup aurat
contohnya, hal itu tidak dilakukan oleh pihak sekolah. Contoh lainnya
mengajarkan untuk mengantri, hal ini juga tidak dilakukan oleh banyak sekolah.
Hal ini menyebabkan para santri, para siswa-siswi, dan juga saya hanya berfokus
pada keilmuan saja dan tidak pada kepribadian. Mungkin sekolah telah menganggap
bahwasannya para murid telah mengetahui hal-hal tersebut atau telah diajarkan
oleh orang tua di rumah.
Padahal dalam
berislam, tentu saja kita tidak boleh memilih-milih aturan mana yang mau kita
kerjakan dan aturan mana yang tidak mau kita kerjakan. Hal ini termaktub pada
surat Al-Baqoroh ayat 208 yang mungkin sudah mashur di telinga sahabat semua,
artinya: 208. Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Sebab turunnya
ayat ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari ‘Ikrimah bahwa
terdapat sekelompok kaum Yahudi (‘Abdullah bin Salam, Tsa’labah, Ibnu Yamin,
Asad bin Ka’b, Usaid bin Ka’b, Sa’id bin ‘Amr, dan Qais bin Zaid) menghadap
kepada Rosulullah SAW menyatakan diri hendak beriman. Namun, mereka meminta
agar dibiarkan merayakan hari Sabtu dan mengamalkan Kitab Taurat pada malam
hari. Mereka menganggap bahwa hari Sabtu merupakan hari yang harus dimuliakan,
dan Taurat adalah kitab yang diturunkan oleh Allah juga. Maka ayat itu turun
menjadi peringatan untuk tidak mencampur baurkan agama.
Ketika menulis
ini, tentu saya juga telah menemukan sekolah yang mengajarkan hal-hal mendasar
dalam beragama dan bermasyarakat. Salah satunya adalah sekolah favorit di
Tangerang Selatan, tempat saya bersekolah dulu. Okeh, demikian untuk hari ini
semoga bermanfaat~ Selamat mencari berkah Allah di dunia :)
follow me @qhimahatthoyyib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar