Rabu, Juni 29, 2016

Saksi Sunyi Tak Tersembunyi



“Mamaaaa,,, sepatuku mana yaa?” teriak Ira dari balkon kamarnya yang berada di lantai dua.
“Apa sih ra, kamu ini semua nanya mama! Yang punya sepatu siapa, yang nyimpen siapa, nanyanya ke siapa.. makanya kamu ini jadi anak perempuan belajar mandiri lah, apa perlu mama pesantrenin?” balas mama dengan teriakan lebih kencang dari dapur.
“Mama, aku kan cuma nanya sepatu malah diceramahin panjang lebar. Tiap hari mama udah bilang kan..” Jawab Ira sembari mencari sepatunya di gudang sepatu.
“Mama bukannya ceramah Ira, tapi kamu emang sudah waktunya diberitahu kalau tidak segera diberitahu nanti lama-lama kamu bisa ngelonjak..” jelas mama dengan semangat sambil menyiapkan makanan dari dapur ke ruang makan.
“Maksud mama ngelonjak gimana, harusnya tuh ya mama itu udah ngajarin Ira sejak kecil dulu, bukannya baru ngeribetin sikap Ira sekarang.. emangnya selama ini mama kemana aja? Ira selalu main sama bi inah, tapi gak pernah sama mama!” tegas Ira dengan suara lebih lantang.
                Pagi yang cerah, bukannya suasana nyaman yang berkeliaran tapi malah keadaan super ribet. Beginilah yang terjadi sehari-hari di rumah mewah bak istana yang kami tempati. Omelan pagi khas ibu dan anak, maklum papa Ira sedang pergi ke luar negeri, katanya sih ada urusan kerja tapi entahlah. Mungkin Ira begitu kesepian karena hanya ditemani tembok dan tanaman di rumah mewah yang berdiri diatas tanah seluas 1 hektar ini. Sudah sebulan sejak kepergian bi inah dan suaminya, rumah ini jadi semakin ricuh. Belum lagi tanaman dan kebersihan rumah yang tidak terawat. Wah, kacau balau deh pokoknya, termasuk juga kondisi kami saat ini.
======------======
                “Papa gimana sih? Katanya balik hari ini.. jam berapa jadinya?” suara mama di telepon membangunkan tidur siang kami hari ini.
                “Maaf ma, masih belum selesai ternyata. Jadi mungkin papa baru bisa pulang dua atau tiga hari ke depan.. Kabar Ira gimana ma?”
                “Ah kelamaan, papa ijin aja gih. Kasian Ira dia marah-marah terus di rumah jadinya sering main ke luar sama tman-temannya. Mama jadi gak tega pa, nanti jadi gimana itu anak sering main ke luar?”
                “Mama cari pembantu lagi aja atau mama cuti dulu dari kerjaan mama biar papa yang urus semuanya.”
                “Urus gimana maksudnya! Ah terserah papa aja deh, ribet ngomong sama papa!” klik, kemudian telepon ditutup.
                Entah keributan apalagi yang dibuat siang ini oleh mama dan papa, yang jelas suara mama sudah mengganggu kami pun kami tidak bisa mendengar jawaban dan balasan papa dari seberang telepon. Akhir-akhir ini memang mama terlihat resah, Sepertinya beliau belum bisa menemukan orang yang cocok untuk mengganti posisi bi inah pasalnya memang bi inah bekerja dengan sangat profesional dan merawat kami dengan baik. Tak hanya kami, tanaman dan mobil-mobil mama juga dIrawat dengan baik oleh suami bi inah. Sampai akhirnya kami harus rela ditinggal bi inah dan menjadi lusuh seperti ini. kondisi kami buruk kawan, kalau saja kalian tahu kondisi kami. Namun, kami pun tak bisa berteriak dan mengungkapkan hal ini kepada mama. Sayangnya bi inah memang harus pergi, dan mama sudah tak peduli lagi pada kami. Apalagi si Ira anak mama satu-satunya itu, tak sekalipun ia mau mengurusi kami, mengurus isi kamarnya sendiri pun rasanya ia sudah enggan.
Kami hanya bisa berteriak dalam sunyi kawan, membangun pikIran kami sendiri, membicarakan hal-hal yang kami senangi dengan siapa dan apa saja yang peduli pada kami. Kami tak peduli apakah ada yang peduli pada kami. Manusia? ah apalagi mereka, mereka adalah makhluk paling tak peduli yang kami temui, kecuali bi inah. Ya! sangat sedikit makhluk-makhluk bumi ini yang seperti bi inah, perlu kIranya bi inah dilestarikan. Tak tahukah mereka bahwa kami tersakiti? Di tempat setinggi ini dan kami tak dipedulikan meski sekali? Terpanggang mentari, terganggu dinginnya malam. Sampai saat ini, kami tetap menunggu kehadIran bi inah di rumah ini, rumah mewah yang tak berpenghuni.
======------======
                Pagi hari tanggal 22 januari 2013,              
“Bapak sampun siap?” Tanya bi inah pada suaminya.
                “Sabentar bu, bapak selesaikan tugas terakhir dulu ya.. biasa, merapikan dan menyIram tanaman di kebun.”
“Oh iya pak, monggo.. saya juga mau pamitan sama perkakas-perkakas nyonya dulu..” Tak lama kemudian, pak suryo suami bi inah telah berada di kebun untuk menunaikan tugas terakhirnya. Begitu pula bi inah, beliau langsung membersihkan perkakas-perkakas yang belum terjamah dalam sehari ini, lantai, jendela, perkakas ruang tamu dan tak lupa juga kami.
“Baik-baik ya, semoga nyonya segera menemukan pengganti saya supaya kalian selalu dIrawat dan diperhatikan.. supaya rumah ini selalu terlihat nyaman dan berpenghuni.” ucap bi inah pada semua perkakas, begitu pula pak suryo mengucapkan hal yang sama pada tanaman-tanaman “peliharaan beliau”.
“Ya, Semoga..” bisik kami serentak meski kami tak bisa berharap banyak pada mama, papa apalagi Ira.
Kami akan selalu ingat kejadian itu, kejadian satu bulan yang lalu sebelum bi inah pergi meninggalkan kami, meninggalkan keluarga ini, meninggalkan rumah mewah yang memang tak nyaman untuk dihuni. Ingin rasanya ikut dengan bi inah untuk jua pergi meninggalkan istana yang kami tinggali namun apalah daya, kami hanyalah saksi sunyi, atap dan langit-langit, yang tak perlu bersembunyi untuk mendengar kisah dan rahasia rumah mewah ini.

Selesai ditulis 23 Januari 2014
follow me @qhimahatthoyyib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar