“Mamaaaa,,,
sepatuku mana yaa?” teriak Ira dari balkon kamarnya yang berada di lantai dua.
“Apa sih ra,
kamu ini semua nanya mama! Yang punya sepatu siapa, yang nyimpen siapa,
nanyanya ke siapa.. makanya kamu ini jadi anak perempuan belajar mandiri lah,
apa perlu mama pesantrenin?” balas mama dengan teriakan lebih kencang dari
dapur.
“Mama, aku kan
cuma nanya sepatu malah diceramahin panjang lebar. Tiap hari mama udah bilang
kan..” Jawab Ira sembari mencari sepatunya di gudang sepatu.
“Mama bukannya
ceramah Ira, tapi kamu emang sudah waktunya diberitahu kalau tidak segera
diberitahu nanti lama-lama kamu bisa ngelonjak..” jelas mama dengan semangat
sambil menyiapkan makanan dari dapur ke ruang makan.
“Maksud mama
ngelonjak gimana, harusnya tuh ya mama itu udah ngajarin Ira sejak kecil dulu,
bukannya baru ngeribetin sikap Ira sekarang.. emangnya selama ini mama kemana
aja? Ira selalu main sama bi inah, tapi gak pernah sama mama!” tegas Ira dengan
suara lebih lantang.
Pagi
yang cerah, bukannya suasana nyaman yang berkeliaran tapi malah keadaan super
ribet. Beginilah yang terjadi sehari-hari di rumah mewah bak istana yang kami
tempati. Omelan pagi khas ibu dan anak, maklum papa Ira sedang pergi ke luar
negeri, katanya sih ada urusan kerja tapi entahlah. Mungkin Ira begitu kesepian
karena hanya ditemani tembok dan tanaman di rumah mewah yang berdiri diatas
tanah seluas 1 hektar ini. Sudah sebulan sejak kepergian bi inah dan suaminya,
rumah ini jadi semakin ricuh. Belum lagi tanaman dan kebersihan rumah yang
tidak terawat. Wah, kacau balau deh pokoknya, termasuk juga kondisi kami saat
ini.
======------======
“Papa
gimana sih? Katanya balik hari ini.. jam berapa jadinya?” suara mama di telepon
membangunkan tidur siang kami hari ini.
“Maaf
ma, masih belum selesai ternyata. Jadi mungkin papa baru bisa pulang dua atau
tiga hari ke depan.. Kabar Ira gimana ma?”
“Ah
kelamaan, papa ijin aja gih. Kasian Ira dia marah-marah terus di rumah jadinya
sering main ke luar sama tman-temannya. Mama jadi gak tega pa, nanti jadi
gimana itu anak sering main ke luar?”
“Mama
cari pembantu lagi aja atau mama cuti dulu dari kerjaan mama biar papa yang
urus semuanya.”
“Urus
gimana maksudnya! Ah terserah papa aja deh, ribet ngomong sama papa!” klik,
kemudian telepon ditutup.
Entah
keributan apalagi yang dibuat siang ini oleh mama dan papa, yang jelas suara
mama sudah mengganggu kami pun kami tidak bisa mendengar jawaban dan balasan
papa dari seberang telepon. Akhir-akhir ini memang mama terlihat resah, Sepertinya
beliau belum bisa menemukan orang yang cocok untuk mengganti posisi bi inah
pasalnya memang bi inah bekerja dengan sangat profesional dan merawat kami
dengan baik. Tak hanya kami, tanaman dan mobil-mobil mama juga dIrawat dengan
baik oleh suami bi inah. Sampai akhirnya kami harus rela ditinggal bi inah dan
menjadi lusuh seperti ini. kondisi kami buruk kawan, kalau saja kalian tahu kondisi
kami. Namun, kami pun tak bisa berteriak dan mengungkapkan hal ini kepada mama.
Sayangnya bi inah memang harus pergi, dan mama sudah tak peduli lagi pada kami.
Apalagi si Ira anak mama satu-satunya itu, tak sekalipun ia mau mengurusi kami,
mengurus isi kamarnya sendiri pun rasanya ia sudah enggan.
Kami hanya bisa
berteriak dalam sunyi kawan, membangun pikIran kami sendiri, membicarakan
hal-hal yang kami senangi dengan siapa dan apa saja yang peduli pada kami. Kami
tak peduli apakah ada yang peduli pada kami. Manusia? ah apalagi mereka, mereka
adalah makhluk paling tak peduli yang kami temui, kecuali bi inah. Ya! sangat
sedikit makhluk-makhluk bumi ini yang seperti bi inah, perlu kIranya bi inah
dilestarikan. Tak tahukah mereka bahwa kami tersakiti? Di tempat setinggi ini
dan kami tak dipedulikan meski sekali? Terpanggang mentari, terganggu dinginnya
malam. Sampai saat ini, kami tetap menunggu kehadIran bi inah di rumah ini,
rumah mewah yang tak berpenghuni.
======------======
Pagi
hari tanggal 22 januari 2013,
“Bapak sampun
siap?” Tanya bi inah pada suaminya.
“Sabentar
bu, bapak selesaikan tugas terakhir dulu ya.. biasa, merapikan dan menyIram
tanaman di kebun.”
“Oh iya pak,
monggo.. saya juga mau pamitan sama perkakas-perkakas nyonya dulu..” Tak lama
kemudian, pak suryo suami bi inah telah berada di kebun untuk menunaikan tugas
terakhirnya. Begitu pula bi inah, beliau langsung membersihkan
perkakas-perkakas yang belum terjamah dalam sehari ini, lantai, jendela,
perkakas ruang tamu dan tak lupa juga kami.
“Baik-baik ya,
semoga nyonya segera menemukan pengganti saya supaya kalian selalu dIrawat dan
diperhatikan.. supaya rumah ini selalu terlihat nyaman dan berpenghuni.” ucap
bi inah pada semua perkakas, begitu pula pak suryo mengucapkan hal yang sama
pada tanaman-tanaman “peliharaan beliau”.
“Ya, Semoga..”
bisik kami serentak meski kami tak bisa berharap banyak pada mama, papa apalagi
Ira.
Kami akan selalu
ingat kejadian itu, kejadian satu bulan yang lalu sebelum bi inah pergi
meninggalkan kami, meninggalkan keluarga ini, meninggalkan rumah mewah yang
memang tak nyaman untuk dihuni. Ingin rasanya ikut dengan bi inah untuk jua
pergi meninggalkan istana yang kami tinggali namun apalah daya, kami hanyalah
saksi sunyi, atap dan langit-langit, yang tak perlu bersembunyi untuk mendengar
kisah dan rahasia rumah mewah ini.
Selesai ditulis 23 Januari 2014
follow me @qhimahatthoyyib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar