Rabu, Juni 29, 2016

Roti Bakar Penyemangat




Menurut berita perkiraan cuaca yang gua lihat di TV Nasional semalam seharusnya hari ini tidak turun hujan. Jadi, gua putuskan saja untuk tidak membawa payung ataupun jas hujan hari ini.
“Sip, semuanya udah lengkap.”
“Ma, berangkat dulu ya..” Jam 06.00 gua udah harus berangkat, daripada telat dan gak ngerti apa yang bakalan diomongin sama dosen, lagian telat itu juga bukan kebiasaan gua.
“Kamu gak makan dulu? Kalo gitu ini bawa bekalnya..”
“Oke, makasih ma..” gua ucapin sambil mencium tangan mama.
Seperti biasa mama selalu bawain gua bekal meskipun gua udah sarapan, tapi hari ini gua telat bangun jadi gak sempet sarapan dulu. Dan seperti biasa juga setelah gua pergi, rumah pasti langsung sepi karena.. ah! Ntar dulu masa pagi-pagi gini gua langsung cerita kesitu.
Setelah pamitan sama mama, langsung gua ambil sepeda butut kesayangan gua dan ngibrit mengejar waktu karena sekarang udah jam enam lebih sepuluh. Kalian tahu kenapa gua harus berangkat jam enam? Karena perjalanan dari rumah gua ke kampus memakan waktu minimal 30 menit, itu pun kalo gua ngebut di jalan dan kalo santai banget bisa satu jam.
000
Jam tujuh kurang 15 menit, akhirnyaaa! Gua sampai juga dan tidak terlambat. Setelah memarkir sepeda, gua langsung menuju kelas pertama gua hari ini. Kelas itu cukup jauh jaraknya dari tempat parkir gua sekarang, tapi, gua gak mungkin parkir di deket kelas karena gua harus muterin kampus dulu kalo mau kesana jadi gua putuskan untuk berjalan saja kesana.
“Hai tsa..”
“Hai juga..”
Mata kuliah yang akan gua hadapi adalah Kewarganegaraan. Sejujurnya gua agak gak suka dengan mata kuliah ini tapi terkadang juga gua sangat suka. Sayangnya, semester ini gua gak dapet mata kuliah Bahasa Indonesia jadi ya.. gua berharap tetap bisa refreshing meskipun gak ada Bahasa Indonesia.
Jam tujuh lebih sepuluh menit dan dosennya belum juga datang. Bosan menunggu, gua baca aja novel yang gua bawa judulnya Rumah Kaca dan penulisnya.. yaa kalian pasti tahu! Sastrawan yang pernah dipenjara di pulau Buru dan karyanya dibakar, mengerikan! Gua gak bisa ngebayangin seberapa sabar penulis itu sampai-sampai tidak melakukan perlawanan saat karya-karyanya dibakar dan betapa jahatnya jajaran pemerintah yang memutuskan untuk melakukan pembakaran. Yap! Siapa lagi kalau bukan Pramodya Ananta Toer.
“Assalamu’alaikum..” suaranya sangat pelan dan seisi kelas tidak mendengar tapi.. kenapa gua dengar ya? Entahlah terkadang hal yang sederhana tidak sesederhana yang kita pikirkan dan tidak mudah untuk dilakukan. “Wa’alaikumussalam” gua bergumam.
Gua alihkan pandangan sebentar ke arah sumber suara, gua pikir suara pak dosen tapi ternyata bukan. Suara seorang pria, sepertinya salah satu mahasiswa di kelas ini karena dia langsung mengambil tempat di kursi yang ada di barisan ketiga sebelah barat belakang gua. Gua emang suka banget memperhatikan orang-orang yang ada di sekitar gua sampai-sampai gua tahu seperti apa mereka dari cara mereka berjalan dan berbicara. Sepertinya gua cocok jadi psikolog tapi gua gak mau berurusan terlalu dalam dengan makhluk yang bernama manusia khususnya para pria, gua lebih suka berurusan dengan tumbuhan.
Sudah duapuluh menit berlalu dari jam tujuh tapi dosen kami belum juga datang, jadilah kelas ini sangat ramai oleh suara teman-teman yang belum gua kenal kecuali teman yang sejurusan ama gua karena mereka emang benar-benar udah gua kenal. Gua tutup novel gua dan mengedarkan pandangan gua ke seisi kelas, aneh! rasanya ada yang berbeda tapi apa ya?
000
Sepanjang pertemuan pertama ini, dosen gua nerangin Rancangan Pembelajaran selama satu semester ke depan dan bercerita tentang apa itu kewarganegaraan dan sejarahnya. Menarik! Apalagi akhirnya gua menyadari ternyata yang aneh adalah perasaan gua yang tiba-tiba senang melihat wajah adem pria yang tadi gua jawab salamnya dan sekarang baik banget mau ngebantuin dosen itu. Gua tahu itu gak boleh, tapi..
Kata bu Rin, dosen Kewarganegaraan gua, sebelum berubah nama menjadi Kewarganegaraan dulu namanya adalah Kewiraan yang diajarkan pada orang-orang dari kalangan tertentu dan lama pembelajarannya adalah 3 bulan dan hanya sekali seumur hidup jadi seperti sebuah seminar yang berkelanjutan selama tiga bulan. Seminar yang menuntut manusia-manusia yang ada di Indonesia ini menjadi rakyat yang taat aturan, hukum dan taat dengan pemerintah. Pelajaran macam apa itu? Hanya selama tiga bulan namun menuntut seumur hidup? Apalagi setiap sekali seminar hanya 40 orang dewasa, sungguh! Sangat tidak efisien. Kemudian, banyak yang protes karena tidak mendapat pelajaran itu jadilah Kewiraan menjadi mata kuliah wajib mahasiswa. Selanjutnya gua sedikit lupa, sepertinya pada tahun 2001 atau sebelum itu ya? nama Kewiraan berubah menjadi Kewarganegaraan karena dua nama itu adalah dua hal yang mempelajari bagian-bagian yang berbeda. Gua juga lupa tentang apa karena gak gua catat sejarah yang diterangin bu Rin.
Hal lain yang dapat gua ambil dari semua yang diterangkan oleh bu Rin adalah, mahasiswa tidak pernah belajar dari apa yang mereka pelajari. Saat menjadi sukses nanti kebanyakan dari mereka akan melupakan apa itu hak, apa itu kewajiban, apa itu tenggang rasa, tolong menolong,  membela dan membangun negara, persatuan, kesatuan, arti dan filosofi pancasila, apalagi peran dan fungsinya. Tapi tetap saja dimanapun, seorang guru atau dosen akan mendoakan kesuksesan untuk mahasiswa mereka.
Sebelum mengakhiri kelas, bu Rin mengabsen nama-nama kami dan gua menunggu kapan pria itu mengangkat tangannya.
“Ilham Fauzi Hassan..” ya! Itu namanya, lihat! Dia mengangkat tangannya.
Setelah semua selesai diabsen, bu Rin meninggalkan kami, kelas pun bubar dan gua menunggu datangnya pekan depan di kelas ini.
“Tsabii..” sahabat gua, Rara, dateng ke gua dengan nafas terengah-engah sepertinya dia habis berlari.
“Ada apa ra, tenang dulu.. baru ngomong.”
“Kita kesana yuk, ngobrol.”
“Oke!”
000
Sambil makan roti bakar yang udah di bawain sama mama, gua dan Rara ngobrol apa saja, berdiskusi apa saja, dan berkomitmen serta berjanji.
“Ra, aku jadi mikir kenapa aku bisa seneng ya ngeliat wajah anak itu, emang sih wajahnya menenangkan. Aku juga mikir tentang apa yang diomongin sama bu Rin banyak benarnya. Coba deh, pikirin aja ya, mahasiswa di Indonesia kan banyak meskipun tidak sampai sepertiga dari penduduk Indonesia, di kampus kita aja contohnya meskipun sudah seringkali digembor-gemborkan Peran dan Fungsi Mahasiswa alias PFM yang berjumlah empat itu buktinya Indonesia tidak berubah, padahal kan lulusan kampus kita katanya sudah menyebar dimana-mana entah sukses, entah tidak. Malahan sekarang mahasiswa banyak yang tidak peduli apa yang terjadi di luar sana karena sistem pendidikan saat ini membuat mahasiswa disibukkan dengan tugas dan tugas tanpa boleh melihat dunia luar. Aku jadi takut kalo aku juga cuma bisa ngomong doang tanpa berbuat, tapi beneran aku pengen banget bermanfaat dan mengubah Indonesia dengan memelihara yatim-piatu dan pertanian Indonesia.”
“Setuju! Ah iya! Aku juga inget sama kata-kata yang ada di novel roman yang kamu baca. Sejak dulu, sebenarnya aturan dan hukum itu dibuat bukan untuk melindungi tapi untuk seenaknya hati dipakai kapan. Jadi sejak dulu sampai sekarang kita masih dijajah, buktinya prinsip itu dateng dari kolonial tapi masih dipakai turun-menurun sampai sekarang. Iya ya, kapan kita bisa merubah Indonesia kalo pemudanya aja kayak gini.” Rara meyakinkan kata-katanya dengan mengedarkan pandangan ke sekeliling kami.
“Eh ra, kamu liat deh anak itu..” lo liat yang baik ra, kayaknya gua kagum ama dia tapi kan kita gak boleh kayak gini, bagaimana mengubah Indonesia apabila kita mudah terpesona pada dunia? Tidak bisa!
“Ada apa? Tsa, kok kamu diem aja..”
“Enggak, bukan apa-apa, gak jadi.”
“Oke deh kalo gitu, kalo ada apa-apa bilang ya tsa.. Pokoknya kita harus janji gak boleh bertingkah sembarangan demi Indonesia. Oh ya, sahabatku Tsabita Rahmania kamu yakin gak perlu aku antar jemput.. aku takut kamu kecapean aja kalo harus ngontel tiap hari jam enam pagi pula!”
“Enggak apa-apa Rastika Fitriatna, aku sudah harus bersyukur punya sepeda itu daripada harus jalan kaki. Benar kan?”
“Hmm begitu ya, kalo gitu hati-hati ya.. Semoga Allah membalas usahamu.”
“Amiin, makasih. Aku pulang duluan ya.. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam.”
Hah, senang rasanya.. ternyata perkiraan cuaca semalam benar dan hari ini gua tidak basah kuyup di tengah jalan. Mulai detik ini ada semangat baru yang menggebu dalam hati gua. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita bisa mengambil pelajaran dari semua sejarah yang pernah terjadi dan memikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk negara dan bukan berpikir apa yang akan kita dapatkan dari negara.
000
“Tsabita Rahmania ya? Aku Ilham Fauzi, kita kelompok lima bareng ama Ristia Farasya temen sejurusanku dan dia juga dia..” tunjuknya pada anak yang masih menyiapkan barangnya dan menuju kami.
Apa? Gua sekelompok sama Ilham? Kok bisa? Dan darimana dia tahu kalo nama gua Tsabita? Walah-walah, gua gak boleh tergoda dengan apapun! “Oh, iya aku ngerti.. namanya Saiful Ramadhani dan satu lagi aku gak tau.”
Ya Tuhan.. sepertinya Kau mulai mengujiku dengan ini.. sekarang harus bagaimana???

Selesai ditulis 2 Juni 2012
follow me @qhimahatthoyyib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar