Menurut berita perkiraan cuaca
yang gua lihat di TV Nasional semalam seharusnya hari ini tidak turun hujan. Jadi, gua putuskan saja untuk tidak membawa payung ataupun jas hujan hari ini.
“Sip, semuanya udah lengkap.”
“Ma, berangkat dulu ya..” Jam
06.00 gua udah harus berangkat, daripada telat dan gak ngerti apa yang
bakalan diomongin sama dosen, lagian telat itu juga bukan kebiasaan gua.
“Kamu gak makan dulu? Kalo gitu
ini bawa bekalnya..”
“Oke, makasih ma..” gua ucapin
sambil mencium tangan mama.
Seperti biasa mama selalu bawain
gua bekal meskipun gua udah sarapan, tapi hari ini gua telat bangun jadi gak
sempet sarapan dulu. Dan seperti biasa juga setelah gua pergi, rumah pasti
langsung sepi karena.. ah! Ntar dulu masa pagi-pagi gini gua langsung cerita
kesitu.
Setelah pamitan sama mama,
langsung gua ambil sepeda butut kesayangan gua dan ngibrit mengejar waktu
karena sekarang udah jam enam lebih sepuluh. Kalian tahu kenapa gua harus
berangkat jam enam? Karena perjalanan dari rumah gua ke kampus memakan waktu
minimal 30 menit, itu pun kalo gua ngebut di jalan dan kalo santai banget bisa
satu jam.
000
Jam tujuh kurang 15 menit, akhirnyaaa!
Gua sampai juga dan tidak terlambat. Setelah memarkir sepeda, gua langsung
menuju kelas pertama gua hari ini. Kelas itu cukup jauh jaraknya dari tempat
parkir gua sekarang, tapi, gua gak mungkin parkir di deket kelas karena gua
harus muterin kampus dulu kalo mau kesana jadi gua putuskan untuk berjalan saja
kesana.
“Hai tsa..”
“Hai juga..”
Mata kuliah yang akan gua hadapi
adalah Kewarganegaraan. Sejujurnya gua agak gak suka dengan mata kuliah ini
tapi terkadang juga gua sangat suka. Sayangnya, semester ini gua gak dapet mata
kuliah Bahasa Indonesia jadi ya.. gua berharap tetap bisa refreshing meskipun gak
ada Bahasa Indonesia.
Jam tujuh lebih sepuluh menit
dan dosennya belum juga datang. Bosan menunggu, gua baca aja novel yang gua
bawa judulnya Rumah Kaca dan penulisnya.. yaa kalian pasti tahu! Sastrawan yang
pernah dipenjara di pulau Buru dan karyanya dibakar, mengerikan! Gua gak bisa
ngebayangin seberapa sabar penulis itu sampai-sampai tidak melakukan perlawanan
saat karya-karyanya dibakar dan betapa jahatnya jajaran pemerintah yang
memutuskan untuk melakukan pembakaran. Yap! Siapa lagi kalau bukan Pramodya
Ananta Toer.
“Assalamu’alaikum..” suaranya
sangat pelan dan seisi kelas tidak mendengar tapi.. kenapa gua dengar ya?
Entahlah terkadang hal yang sederhana tidak sesederhana yang kita pikirkan dan
tidak mudah untuk dilakukan. “Wa’alaikumussalam” gua bergumam.
Gua alihkan pandangan sebentar
ke arah sumber suara, gua pikir suara pak dosen tapi ternyata bukan. Suara
seorang pria, sepertinya salah satu mahasiswa di kelas ini karena dia langsung
mengambil tempat di kursi yang ada di barisan ketiga sebelah barat belakang
gua. Gua emang suka banget memperhatikan orang-orang yang ada di sekitar gua
sampai-sampai gua tahu seperti apa mereka dari cara mereka berjalan dan
berbicara. Sepertinya gua cocok jadi psikolog tapi gua gak mau berurusan
terlalu dalam dengan makhluk yang bernama manusia khususnya para pria, gua
lebih suka berurusan dengan tumbuhan.
Sudah duapuluh menit berlalu
dari jam tujuh tapi dosen kami belum juga datang, jadilah kelas ini sangat
ramai oleh suara teman-teman yang belum gua kenal kecuali teman yang sejurusan
ama gua karena mereka emang benar-benar udah gua kenal. Gua tutup novel gua dan
mengedarkan pandangan gua ke seisi kelas, aneh! rasanya ada yang berbeda tapi
apa ya?
000
Sepanjang pertemuan pertama ini,
dosen gua nerangin Rancangan Pembelajaran selama satu semester ke depan dan
bercerita tentang apa itu kewarganegaraan dan sejarahnya. Menarik! Apalagi
akhirnya gua menyadari ternyata yang aneh adalah perasaan gua yang tiba-tiba
senang melihat wajah adem pria yang tadi gua jawab salamnya dan sekarang baik
banget mau ngebantuin dosen itu. Gua tahu itu gak boleh, tapi..
Kata bu Rin, dosen
Kewarganegaraan gua, sebelum berubah nama menjadi Kewarganegaraan dulu namanya adalah
Kewiraan yang diajarkan pada orang-orang dari kalangan tertentu dan lama
pembelajarannya adalah 3 bulan dan hanya sekali seumur hidup jadi seperti
sebuah seminar yang berkelanjutan selama tiga bulan. Seminar yang menuntut
manusia-manusia yang ada di Indonesia ini menjadi rakyat yang taat aturan,
hukum dan taat dengan pemerintah. Pelajaran macam apa itu? Hanya selama tiga
bulan namun menuntut seumur hidup? Apalagi setiap sekali seminar hanya 40 orang
dewasa, sungguh! Sangat tidak efisien. Kemudian, banyak yang protes karena
tidak mendapat pelajaran itu jadilah Kewiraan menjadi mata kuliah wajib
mahasiswa. Selanjutnya gua sedikit lupa, sepertinya pada tahun 2001 atau
sebelum itu ya? nama Kewiraan berubah menjadi Kewarganegaraan karena dua nama
itu adalah dua hal yang mempelajari bagian-bagian yang berbeda. Gua juga lupa
tentang apa karena gak gua catat sejarah yang diterangin bu Rin.
Hal lain yang dapat gua ambil
dari semua yang diterangkan oleh bu Rin adalah, mahasiswa tidak pernah belajar
dari apa yang mereka pelajari. Saat menjadi sukses nanti kebanyakan dari mereka
akan melupakan apa itu hak, apa itu kewajiban, apa itu tenggang rasa, tolong
menolong, membela dan membangun negara,
persatuan, kesatuan, arti dan filosofi pancasila, apalagi peran dan fungsinya.
Tapi tetap saja dimanapun, seorang guru atau dosen akan mendoakan kesuksesan
untuk mahasiswa mereka.
Sebelum mengakhiri kelas, bu Rin
mengabsen nama-nama kami dan gua menunggu kapan pria itu mengangkat tangannya.
“Ilham Fauzi Hassan..” ya! Itu
namanya, lihat! Dia mengangkat tangannya.
Setelah semua selesai diabsen,
bu Rin meninggalkan kami, kelas pun bubar dan gua menunggu datangnya pekan
depan di kelas ini.
“Tsabii..” sahabat gua, Rara,
dateng ke gua dengan nafas terengah-engah sepertinya dia habis berlari.
“Ada apa ra, tenang dulu.. baru
ngomong.”
“Kita kesana yuk, ngobrol.”
“Oke!”
000
Sambil makan roti bakar yang
udah di bawain sama mama, gua dan Rara ngobrol apa saja, berdiskusi apa saja,
dan berkomitmen serta berjanji.
“Ra, aku jadi mikir kenapa aku
bisa seneng ya ngeliat wajah anak itu, emang sih wajahnya menenangkan. Aku juga
mikir tentang apa yang diomongin sama bu Rin banyak benarnya. Coba deh, pikirin
aja ya, mahasiswa di Indonesia kan banyak meskipun tidak sampai sepertiga dari
penduduk Indonesia, di kampus kita aja contohnya meskipun sudah seringkali
digembor-gemborkan Peran dan Fungsi Mahasiswa alias PFM yang berjumlah empat
itu buktinya Indonesia tidak berubah, padahal kan lulusan kampus kita katanya
sudah menyebar dimana-mana entah sukses, entah tidak. Malahan sekarang
mahasiswa banyak yang tidak peduli apa yang terjadi di luar sana karena sistem
pendidikan saat ini membuat mahasiswa disibukkan dengan tugas dan tugas tanpa
boleh melihat dunia luar. Aku jadi takut kalo aku juga cuma bisa ngomong doang
tanpa berbuat, tapi beneran aku pengen banget bermanfaat dan mengubah Indonesia
dengan memelihara yatim-piatu dan pertanian Indonesia.”
“Setuju! Ah iya! Aku juga inget
sama kata-kata yang ada di novel roman yang kamu baca. Sejak dulu, sebenarnya
aturan dan hukum itu dibuat bukan untuk melindungi tapi untuk seenaknya hati
dipakai kapan. Jadi sejak dulu sampai sekarang kita masih dijajah, buktinya
prinsip itu dateng dari kolonial tapi masih dipakai turun-menurun sampai sekarang.
Iya ya, kapan kita bisa merubah Indonesia kalo pemudanya aja kayak gini.” Rara
meyakinkan kata-katanya dengan mengedarkan pandangan ke sekeliling kami.
“Eh ra, kamu liat deh anak
itu..” lo liat yang baik ra, kayaknya gua kagum ama dia tapi kan kita gak boleh
kayak gini, bagaimana mengubah Indonesia apabila kita mudah terpesona pada
dunia? Tidak bisa!
“Ada apa? Tsa, kok kamu diem
aja..”
“Enggak, bukan apa-apa, gak
jadi.”
“Oke deh kalo gitu, kalo ada
apa-apa bilang ya tsa.. Pokoknya kita harus janji gak boleh bertingkah
sembarangan demi Indonesia. Oh ya, sahabatku Tsabita Rahmania kamu yakin gak
perlu aku antar jemput.. aku takut kamu kecapean aja kalo harus ngontel tiap hari jam enam pagi pula!”
“Enggak apa-apa Rastika
Fitriatna, aku sudah harus bersyukur punya sepeda itu daripada harus jalan
kaki. Benar kan?”
“Hmm begitu ya, kalo gitu
hati-hati ya.. Semoga Allah membalas usahamu.”
“Amiin, makasih. Aku pulang
duluan ya.. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam.”
Hah, senang rasanya.. ternyata
perkiraan cuaca semalam benar dan hari ini gua tidak basah kuyup di tengah
jalan. Mulai detik ini ada semangat baru yang menggebu dalam hati gua. Yang
terpenting sekarang adalah bagaimana kita bisa mengambil pelajaran dari semua
sejarah yang pernah terjadi dan memikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk
negara dan bukan berpikir apa yang akan kita dapatkan dari negara.
000
“Tsabita Rahmania ya? Aku Ilham
Fauzi, kita kelompok lima bareng ama Ristia Farasya temen sejurusanku dan dia
juga dia..” tunjuknya pada anak yang masih menyiapkan barangnya dan menuju
kami.
Apa? Gua sekelompok sama Ilham? Kok
bisa? Dan darimana dia tahu kalo nama gua Tsabita? Walah-walah, gua gak boleh tergoda dengan apapun! “Oh, iya aku
ngerti.. namanya Saiful Ramadhani dan satu lagi aku gak tau.”
Ya Tuhan.. sepertinya Kau mulai
mengujiku dengan ini.. sekarang harus bagaimana???
Selesai ditulis 2 Juni 2012
follow me @qhimahatthoyyib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar